(GUGURNYA PONDOK-PONDOK NUSANTARA)
Banyaknya pondok pesantren yang gulung tikar
atau terpaksa tutup serta minimnya pondok-pondok baru yang lahir dan berkembang
belakangan ini, tanpa sadar ternyata telah membuat gundah dan khawatir kalangan
pesantren, sebab selain keberadaan
pesantren telah di anggap tidak lagi di
minati masyarakat, pondok pesantren juga sangat tertinggal di banding
pendidikan model lain, atau karena banyaknya anggapan “menaruh anak ke pesantren
sama dengan membunuh masa depan anak !”.
Di
sadari atau tidak, tergerusnya jumlah pesantren dan termarginalkanya pondok
saat ini menjadi bagian kesalahan dari kalangan pesatren pula, sebab tak bisa
di pungkiri kedudukan pesantren merupakan sebuah lembaga mandiri yang tidak
bergantung pada institusi apapun, semua kebijakanya murni dari kyai ataupun
pengasuh di dalamnya. Namun sebenarnya, inilah masalah utama yang harus di selesaikan kalangan pesantren dewasa ini, karena kemandirian pesantren ternyata tidak di sertai dengan munculnya
rasa persaudaraan secara lembaga yang erat dengan pondok- pondok lain, ikatan
yang ada hanya bersifat individu atau nasab saja, yaitu antara anak kyai satu
dangan anak kiyai yang lain, santri pesantren satu dengan santri pondok lain,
namun tidak mempunyai ikatan yang
bersifat kelembagaan yang bersifat resmi, ataupun wadah untuk menyatukan pondok
satu dengan yang lain. Imbas dari realita ini adalah hilangnya kepedulian
secara lembaga di antara mereka, apalagi manajemen, prinsip, budaya, ataupun
sejarah satu pondok pesantren dengan pesantren yang lain tidak sama .
Di samping itu, pondok yang sedang mengalami
kemerosotan santri ternyata begitu gengsi untuk meminta bantuan pada pondok lain
yang lebih mapan, problem kemerosotan jumlah siswa hanya di anggap bagian dari
takdir Allah yang harus di terima dengan sabar dan ikhlas sepenuh hati, hal ini
bisa di lihat dari minimnya usaha yang mereka tampakkan, langkah yang di ambil
cenderung pasif dan setagnan, tidak ada dalam istilah pesantren sebuah
inovasi-inovasi demi memperbanyak jumlah siswa, promosi yang diupayakan
pun hanya dari mulut ke mulut tidak melalui selebaran, koran, media eletronik,
ataupun TV. Sebab, hal itu di nilai akan mengurangi kekeramatan atau wibawa
pondok pesantren di mata masyarakat, atau pondok tak ubahnya hanya akan seperti
sekolah-sekolah formal yang hanya memikirkan duniawi belaka.
Kedua, NU notabenya merupakan lembaga tak
terpisahkan dari nafas pesantren, yaitu lembaga yang hampir menjadi rujukan seluruh
warga pesantren, ternyata tidak mampu memberikan pengaruhnya pada kredebilitas
ataupun legalitas pesantren di mata pemerintah, NU hanya lebih memprioritaskan
diri pada individu-individu yang tinggal di pesantren, terutama dari golongan
keluarga kyai yang menjadi pengasuh, namun sekali lagi permasalahan di atas
terulang dalam hal ini, yaitu NU tak mampu menjadi rujukan permasalahan yang di alami sebuah lembaga,
karena NU hanya sebuah organisasi kemasyarakatan yang tidak bergerak dalam jalur
politik apapun, sakaligus kedudukan NU
hanya sebuah ORMAS yang menampung aspirasi personal kyai bukan pondok yang
mereka pimpin. Sebab, di mata sebuah organisast kemasyarakatan, yang tampak hanyalah
personal dari KH Idris Marzuki, KH Subadar, KH Faqih dan kh-kh lain, yang
tampak tidak persoalan yang bersifat lembaga pondok mereka. Imbas dari keadaan
ini adalah hilangnya suara pasantren di hadapan pemerintah, suara yang munculpun tak mendapatkan respon sama sekali,
begitu pula penolakan-penolakan yang di lakukan hanya menjadi angin lalu yang
tak akan mengganggu sebuah kebijakan, karena pesantren tidak mempunyai wadah
yang menyatukan dan menyeragamkan visi, misi ataupun sistem dan langkah yang
akan di lakukan.
Bila mengingat sejarah panjang keberadaan
pesantren serta keberadaanya yang tersebar
di seluruh indonesia, seharusnya kedudukan pesantren tak ubahnya Universitas Al
Azar di negara Mesir ataupun Universtas lain di muka bumi, karena pesantren
merupakan lembaga pendidikan tertua di indonesia sekaligus bagian dari budaya
dan sejarah negara ini. Namun karna tak mempunyai kekuatan lembaga sama sekali,
yaitu kekuatan yang mampu memaksa pemerintah untuk mengakui keberadaannya
sebagai lembaga pendidikan formal, dan tidak mempunyai wadah yang menyatukan
dan menyetarakan mereka. Maka yang terjadi, di mata pemerintah pondok pesantren hanyalah lembaga pendidikan non
formal yang tidak mendapatkan legalitas serta bukan bagian dari program
pemerintah dalam usaha mencerdaskan anak bangsa. Meski tragis, tapi hal yang
menjadi realita tak akan terbantahkan, yaitu tidak adanya pengakuan pemerintah
pada pendidikan pesantren merupakan salah satu kecolongan terbesar bagi
seluruh warga pesantren, sebab seluruh lulusan pesantren tidak akan ada artinya
di mata pemerintah, sepintar apapun seorang santri, serta dari pondok manapun
tak ada bedanya.
Ketiga, antara pondok dengan masyarakat tak
akan terpisah, terutamanya masyarakat yang
tergolong menengah kebawah, di mana hampir mayoritas santri berasal dari
golongan masyarakat biasa, masyarakat
yang secara ekonomi tidak begitu menonjol ataupun masyarakat yang bertempat
tinggal di desa, sebab minat masyarat atas ataupun penduduk kota cenderung
akan berfikir ulang untuk menitipkan anak-anak mereka di sebuah pesantren, karEna
lebih berfikir rasional dalam pendidikan yang di tempuh anak mereka, tentu
masyarakat akan enggan melihat kenyataan tamatan sebuah pesantren hanya menjadi imam tahlil, imam yasin, atau sekedar
imam musola yang tidak memiliki prospek kehidupan sama sekali, apalagi pada pesantren
yang tidak begitu besar atau terkenal,
tentu akan lebih enggan memondokkan anak mereka. Dari kenyataan ini tentu
siapapun bisa menebak !, yaitu semakin berkurangnya jumlah siswa yang berada di
pesantren. Padahal, di mata pendidikan kedudukan siswa tak ubahnya ruh yang
berada dalam diri manusia, sebab tak mungkin bisa dipisahkan antara lembaga
pendidikan dengan anak didik yang berada di dalamnya, karena tak akan di sebut
pendidik bila tidak ada yang dididik, begitu pula sebaliknya tak akan di sebut
anak didik bila tidak pernah di didik, maka hal yang paling mendasar atas banyaknya
pondok mati atau gulung tikar adalah hilangnya santri yang menimba ilmu di
dalamnya.lalu, hal yang tak bisa di abaikan atas turunnya minat mesyarakat untuk
menitipkan anak mereka pada pendidikan pesantren adalah gejala modernisasi yang
di alami berbagai daerah, yaitu keinginan untuk maju dan berkembang sesuai
tuntutan zaman, sedangkan pondok tidak lagi menjadi lembaga pendidikan yang di
impikan anak-anak ataupun remaja muslim seperti pada masa Wali Songo dahulu,
dimana pondok adalah tempat pendidikan paling maju dan bonafit yang di isi oleh
para putra kerajaan atau anak-anak bupati yang berpengaruh, pondok saat ini hanya berisi sekumpulan anak
yang droup out sekolah atau anak nakal yang bertaubat untuk memperbaiki diri,
atau pula anak yang berkomitmen untuk benar-benar mendalami ilmu agama, pantas
saja di kalangan masyarakat pondok hanyalah sebuah pendidikan tertinggal
yang tidak memiliki pamor sama sekali, berangkat kepesantren sama halnya
dengan menuju ke sekolah yang paling kuno, tertinggal, dan gengsi
paling rendah di banding lembaga yang lain.
Sebuah
trobosan
Menelaah beberapa aspek yang telah terpaparkan
di atas, hal pertama yang harus di ambil oleh seluruh pondok-pondok yang masih
bertahan saat ini adalah bagaimana membuat sebuah wadah yang mengayomi dan
menyatukan mereka dalam satu visi dan misi , sebuah wadah yang menyatukan
seluruh pondok salaf di nusantara. Dalam hal ini penulis menyadari akan
tingkat kesulitan dalam merealisasikan pemikiran, mengingat pondok
adalah lembaga yang sangat sulit didefinisikan secara valid dan konkrit, karena
pondok adalah lembaga yang mandiri dan tak akan mau diikat oleh institusi apapun, disamping itu pondok tak
ubahnya seebuah individu-individu dinamis yang sangat berbeda antara satu
dengan yang lain, setiap pondok hampir selalu mempunyai adat, sikap, dan sejarah
yang berlainan dengan yang lainnya. Namun sulit bukan berarti tidak mungkin,
karena hal ini bisa di atasi dengan adanya gerakan serentak pondok-pondok besar
yang berpengaruh di negeri ini, seperti pondok
Lirboyo, Ploso , Sido Giri, Asembagus, Pati, dan yang lain, di mana
pondok- pondok tersebut merupakan rahim dari lahirnya pondok-pondok lain yang
lebih kecil. Sebab hal yang tidak akan pernah hilang dari identitas pesantren
adalah rasa hormat yang mendalam pada guru mereka, perintah ataupun larangan
guru adalah wajib hukumnya, maka bila
pondok yang lebih besar telah menyatu, untuk menyatukan pondok yang masih
belum mempunyai sejarah panjang akan dengan mudah di satukan dalam sebuah kelembagaan tunggal.
Namun
sekali lagi, hal ini harus melalui kesadaran penuh dan perhatian pondok
pesantren yang telah mapan dan berpengaruh, karena semakin besar sebuah pondok
pesantren, semakin besar pula ego mereka dalam menerapkan sebuah sistem
pendidikan, keyakinan bahwa toriqoh yang di anut akan dianggap paling baik di
antara yang lain, dalam keadaan apapun prinsip-prisip dari tokoh pendiri akan
di jadikan landasan utama dalam menjalan roda pendidikan pesantren. Oleh sebab
itu, bila hal ini telah di selasaikan dengan baik, untuk menyatukan seluruh
pesantren bukan lagi sebuah keniscayaan.
Alangkah
indah seandainya seluruh pondok menjadi sebuah institusi terpadu yang
berjalalan secara kompak dan searah, begitu pula alangkah indah jika
kesenjangan yang begitu dalam antara pondok besar akan hilang dengan
sendirinya, sebab seluruh pondok akan setara atau sederajat, pondok akan
menjadi sebuah institusi raksasa yang sangat di pertimbangkan kedudukanya,
mengingat jumlah pondok yang ribuan serta sejarah panjang yang mengiringi
keberadaan mereka, hal itu tidaklah begitu sulit untuk diwujudkan.
Dalam
hal ini, NU yang notabenya telah menjadi lumbung padi dari mayoritas
pesantren di negeri ini, harus mampu menyatukan dan menstabilkan lembaga
pesantren, NU harus tampil tidak hanya sebagai wadah para tokoh, namun harus
menjadi pengayom, penampung, mikrofon kelembagaan pesantren sekaligus menjadi tulang
punggung dalam mendorong prestasi mereka, yakni menjadikan pesantren sebagai
sebuah institusi yang di pertimbangkan dalam peta pendidikan nasional,
institusi yang diakui kwalitasnya di hadapan lembaga pendidkan lain baik yang
negeri atau swasta.
Pesantren
saat ini tak ubahnya raksasa tertidur, raksasa yang pulas dalam
mimpi-mimpi dunia ideal di atas lembaran kertas kuning, dengan kekuatan
kultur budaya masyarakat yang telah tertanam sejak lama. Pasti saat pesantren
terbangun, kekuatan pengaruhnya akan betul-betul mendrobrak paradigma
pendidikan yang ada saat ini, karna pesantren mempunyai hal yang tidak di
miliki oleh lembaga yang lain, yaitu konsep tarbiyah yang selalu
beriringan dengan semangat dirosah yang senantiasa dianut. Konsep yang
mengajarkan untuk menjadi manusia berahlak dan santun dalam kehidupan sosial,
sebuah ajaran yang sangat di butuhkan negeri ini.
Satu
yang tak terlupakan, dalam upaya mengangkat martabat dan wibawa pesantren
sebagai institusi pendidikan berkwalitas, adalah bagaimana pesantren harus
berani membuka diri atas aspirasi dan keadaan masyarakat, pesantren tidak boleh
lagi menjadi lembaga inklusif atau tertutup dari dunia luar. Pesantren harus
mampu bersaing informasi, pemikiran, atau wacana, meskipun hal itu terbatas
dalam ranah koridor pesantren atau khazanah islamiyah. Begitu luas khazanah
islamiyah yang di miliki pesantren, kitab kuning seperti sebuah tumpukan
bahan-bahan berkwalitas tak terpakai, hanya tinggal sedikit pengolahan dan
penyajian yang menarik yang di kahendaki masyarakat.
Di
samping itu pesantren harus berani melakukan trobosan dalam mempromosikan diri,
promosi yang mampu menarik minat masyarakat pada pendidikan islam yang sesuai dengan para ulama-ulama salaf. Pesantren harus berani menjemput
bola yang ada dalam masyarakat serta tidak lagi pasif ataupun stagnan,
karna pesantren tidak lagi menjadi pendidikan kaum elit seperti pada masa Wali
Songo. Pesantren harus berani bersaing dalam mengambil hati masyarakat luas,
bagaimana meyakinkan masyarakat bahwa menitipkan anak pada pesantren adalah
pilihan terbaik yang di ambil.
Sebuah
kesimpulan kecil
Pada masa ini, pentingnya sebuah pendidikan telah diketahui
segenap masyarakat, terutama pendidikan yang mampu menunjang kehidupan di masa
depan, baik pendidikan yang mengandalkan kecerdasan ataupun sekedar keterampilan
bila memiliki prospek lebih baik akan menjadi sebuah pendidikan favorit semua
kalangan. Begitu pula lembaga pendidikan yang tersaji di tengah masyarakat,
masuk pada sebuah lembaga pendidikan tidak lagi sebuah hal istimewa. Sebab, begitu banyak tawaran ataupun iming-iming
yang menarik dijanjikan oleh berbagai institusi pendidikan, masyarakat tinggal
menentukan pilihan mereka pada lembaga yang mereka inginkan. Di samping itu,
banyaknya pesantren yang gugur dalam perjalan sejarah nasional, tak lain karena
kurangnya inovasi-inovasi yang seharusnya wajib di miliki oleh sebuah institusi
dalam usaha mendapatkan kepercayaan masyarakat atau pula inovasi yang mampu “melanggengkan”
eksistensinya dalam sebuah negara.
Dan,
bila problem berkepanjangan ini
mampu diatasi, penulis yakin bahwa dengan segala potensi dan kelebihan yang
di miliki, pesantren akan tampil sebagai institusi yang mapan dan bisa
membanggakan serta di banggakan oleh kalangan pesantren. Amin........
(AHMAD
MUJIB ZEN)
Banyuwangi 06-07- 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar