Senin, 22 April 2013

PESANTREN YANG SEMAKIN TERMARGINALKAN

(GUGURNYA PONDOK-PONDOK NUSANTARA)

Banyaknya pondok pesantren yang gulung tikar atau terpaksa tutup serta minimnya pondok-pondok baru yang lahir dan berkembang belakangan ini, tanpa sadar ternyata telah membuat gundah dan khawatir kalangan pesantren, sebab selain  keberadaan pesantren telah  di anggap tidak lagi di minati masyarakat, pondok pesantren juga sangat tertinggal di banding pendidikan model lain, atau karena banyaknya anggapan “menaruh anak ke pesantren sama dengan membunuh masa depan anak !”.

            Di sadari atau tidak, tergerusnya jumlah pesantren dan termarginalkanya pondok saat ini menjadi bagian kesalahan dari kalangan pesatren pula, sebab tak bisa di pungkiri kedudukan pesantren merupakan sebuah lembaga mandiri yang tidak bergantung pada institusi apapun, semua kebijakanya murni dari kyai ataupun pengasuh di dalamnya. Namun sebenarnya, inilah masalah utama yang  harus di selesaikan kalangan pesantren dewasa ini, karena kemandirian pesantren ternyata tidak di sertai dengan munculnya rasa persaudaraan secara lembaga yang erat dengan pondok- pondok lain, ikatan yang ada hanya bersifat individu atau nasab saja, yaitu antara anak kyai satu dangan anak kiyai yang lain, santri pesantren satu dengan santri pondok lain, namun tidak mempunyai  ikatan yang bersifat kelembagaan yang bersifat resmi, ataupun wadah untuk menyatukan pondok satu dengan yang lain. Imbas dari realita ini adalah hilangnya kepedulian secara lembaga di antara mereka, apalagi manajemen, prinsip, budaya, ataupun sejarah satu pondok pesantren dengan pesantren yang lain tidak sama .

Di samping itu, pondok yang sedang mengalami kemerosotan santri ternyata begitu gengsi untuk meminta bantuan pada pondok lain yang lebih mapan, problem kemerosotan jumlah siswa hanya di anggap bagian dari takdir Allah yang harus di terima dengan sabar dan ikhlas sepenuh hati, hal ini bisa di lihat dari minimnya usaha yang mereka tampakkan, langkah yang di ambil cenderung pasif dan setagnan, tidak ada dalam istilah pesantren sebuah inovasi-inovasi demi memperbanyak jumlah siswa, promosi yang diupayakan pun hanya dari mulut ke mulut tidak melalui selebaran, koran, media eletronik, ataupun TV. Sebab, hal itu di nilai akan mengurangi kekeramatan atau wibawa pondok pesantren di mata masyarakat, atau pondok tak ubahnya hanya akan seperti sekolah-sekolah formal yang hanya memikirkan duniawi belaka.

Kedua, NU notabenya merupakan lembaga tak terpisahkan dari nafas pesantren, yaitu lembaga yang hampir menjadi rujukan seluruh warga pesantren, ternyata tidak mampu memberikan pengaruhnya pada kredebilitas ataupun legalitas pesantren di mata pemerintah, NU hanya lebih memprioritaskan diri pada individu-individu yang tinggal di pesantren, terutama dari golongan keluarga kyai yang menjadi pengasuh, namun sekali lagi permasalahan di atas terulang dalam hal ini, yaitu NU tak mampu menjadi rujukan  permasalahan yang di alami sebuah lembaga, karena NU hanya sebuah organisasi kemasyarakatan yang tidak bergerak dalam jalur politik apapun,  sakaligus kedudukan NU hanya sebuah ORMAS yang menampung aspirasi personal kyai bukan pondok yang mereka pimpin. Sebab, di mata sebuah organisast kemasyarakatan, yang tampak hanyalah personal dari KH Idris Marzuki, KH Subadar, KH Faqih dan kh-kh lain, yang tampak tidak persoalan yang bersifat lembaga pondok mereka. Imbas dari keadaan ini adalah hilangnya suara pasantren di hadapan pemerintah, suara yang munculpun tak mendapatkan respon sama sekali, begitu pula penolakan-penolakan yang di lakukan hanya menjadi angin lalu yang tak akan mengganggu sebuah kebijakan, karena pesantren tidak mempunyai wadah yang menyatukan dan menyeragamkan visi, misi ataupun sistem dan langkah yang akan di lakukan. 

Bila mengingat sejarah panjang keberadaan pesantren  serta keberadaanya yang tersebar di seluruh indonesia, seharusnya kedudukan pesantren tak ubahnya Universitas Al Azar di negara Mesir ataupun Universtas lain di muka bumi, karena pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di indonesia sekaligus bagian dari budaya dan sejarah negara ini. Namun karna tak mempunyai kekuatan lembaga sama sekali, yaitu kekuatan yang mampu memaksa pemerintah untuk mengakui keberadaannya sebagai lembaga pendidikan formal, dan tidak mempunyai wadah yang menyatukan dan menyetarakan mereka. Maka yang terjadi, di mata pemerintah pondok  pesantren hanyalah lembaga pendidikan non formal yang tidak mendapatkan legalitas serta bukan bagian dari program pemerintah dalam usaha mencerdaskan anak bangsa. Meski tragis, tapi hal yang menjadi realita tak akan terbantahkan, yaitu tidak adanya pengakuan pemerintah pada pendidikan pesantren merupakan salah satu kecolongan terbesar bagi seluruh warga pesantren, sebab seluruh lulusan pesantren tidak akan ada artinya di mata pemerintah, sepintar apapun seorang santri, serta dari pondok manapun tak ada bedanya.

Ketiga, antara pondok dengan masyarakat tak akan terpisah, terutamanya masyarakat yang  tergolong menengah kebawah, di mana hampir mayoritas santri berasal dari golongan masyarakat biasa,  masyarakat yang secara ekonomi tidak begitu menonjol ataupun masyarakat yang bertempat tinggal di desa, sebab minat masyarat atas ataupun penduduk kota cenderung akan berfikir ulang untuk menitipkan anak-anak mereka di sebuah pesantren, karEna lebih berfikir rasional dalam pendidikan yang di tempuh anak mereka, tentu masyarakat akan enggan melihat kenyataan tamatan sebuah pesantren hanya  menjadi imam tahlil, imam yasin, atau sekedar imam musola yang tidak memiliki prospek kehidupan sama sekali, apalagi pada pesantren yang tidak begitu  besar atau terkenal, tentu akan lebih enggan memondokkan anak mereka. Dari kenyataan ini tentu siapapun bisa menebak !, yaitu semakin berkurangnya jumlah siswa yang berada di pesantren. Padahal, di mata pendidikan kedudukan siswa tak ubahnya ruh yang berada dalam diri manusia, sebab tak mungkin bisa dipisahkan antara lembaga pendidikan dengan anak didik yang berada di dalamnya, karena tak akan di sebut pendidik bila tidak ada yang dididik, begitu pula sebaliknya tak akan di sebut anak didik bila tidak pernah di didik, maka hal yang paling mendasar atas banyaknya pondok mati atau gulung tikar adalah hilangnya santri yang menimba ilmu di dalamnya.lalu, hal yang tak bisa di abaikan atas turunnya minat mesyarakat untuk menitipkan anak mereka pada pendidikan pesantren adalah gejala modernisasi yang di alami berbagai daerah, yaitu keinginan untuk maju dan berkembang sesuai tuntutan zaman, sedangkan pondok tidak lagi menjadi lembaga pendidikan yang di impikan anak-anak ataupun remaja muslim seperti pada masa Wali Songo dahulu, dimana pondok adalah tempat pendidikan paling maju dan bonafit yang di isi oleh para putra kerajaan atau anak-anak bupati yang berpengaruh,  pondok saat ini hanya berisi sekumpulan anak yang droup out sekolah atau anak nakal yang bertaubat untuk memperbaiki diri, atau pula anak yang berkomitmen untuk benar-benar mendalami ilmu agama, pantas saja di kalangan masyarakat pondok hanyalah sebuah pendidikan tertinggal yang tidak memiliki pamor sama sekali, berangkat kepesantren sama halnya dengan menuju ke sekolah yang paling kuno, tertinggal, dan gengsi paling rendah di banding lembaga yang lain.

            Sebuah trobosan

            Menelaah beberapa aspek yang telah terpaparkan di atas, hal pertama yang harus di ambil oleh seluruh pondok-pondok yang masih bertahan saat ini adalah bagaimana membuat sebuah wadah yang mengayomi dan menyatukan mereka dalam satu visi dan misi , sebuah wadah yang menyatukan seluruh pondok salaf di nusantara. Dalam hal ini penulis menyadari akan tingkat  kesulitan dalam  merealisasikan pemikiran, mengingat pondok adalah lembaga yang sangat sulit didefinisikan secara valid dan konkrit, karena pondok adalah lembaga yang mandiri dan tak akan mau diikat  oleh institusi apapun, disamping itu pondok tak ubahnya seebuah individu-individu dinamis yang sangat berbeda antara satu dengan yang lain, setiap pondok hampir selalu mempunyai adat, sikap, dan sejarah yang berlainan dengan yang lainnya. Namun sulit bukan berarti tidak mungkin, karena hal ini bisa di atasi dengan adanya gerakan serentak pondok-pondok besar yang berpengaruh di negeri ini, seperti pondok  Lirboyo, Ploso , Sido Giri, Asembagus, Pati, dan yang lain, di mana pondok- pondok tersebut merupakan rahim dari lahirnya pondok-pondok lain yang lebih kecil. Sebab hal yang tidak akan pernah hilang dari identitas pesantren adalah rasa hormat yang mendalam pada guru mereka, perintah ataupun larangan guru adalah wajib hukumnya, maka bila pondok yang lebih besar telah menyatu, untuk menyatukan pondok yang masih belum mempunyai sejarah panjang akan dengan mudah di satukan dalam sebuah kelembagaan  tunggal.

            Namun sekali lagi, hal ini harus melalui kesadaran penuh dan perhatian pondok pesantren yang telah mapan dan berpengaruh, karena semakin besar sebuah pondok pesantren, semakin besar pula ego mereka dalam menerapkan sebuah sistem pendidikan, keyakinan bahwa toriqoh yang di anut akan dianggap paling baik di antara yang lain, dalam keadaan apapun prinsip-prisip dari tokoh pendiri akan di jadikan landasan utama dalam menjalan roda pendidikan pesantren. Oleh sebab itu, bila hal ini telah di selasaikan dengan baik, untuk menyatukan seluruh pesantren bukan lagi sebuah keniscayaan.

            Alangkah indah seandainya seluruh pondok menjadi sebuah institusi terpadu yang berjalalan secara kompak dan searah, begitu pula alangkah indah jika kesenjangan yang begitu dalam antara pondok besar akan hilang dengan sendirinya, sebab seluruh pondok akan setara atau sederajat, pondok akan menjadi sebuah institusi raksasa yang sangat di pertimbangkan kedudukanya, mengingat jumlah pondok yang ribuan serta sejarah panjang yang mengiringi keberadaan mereka, hal itu tidaklah begitu sulit untuk diwujudkan.

            Dalam hal ini, NU yang notabenya telah menjadi lumbung padi dari mayoritas pesantren di negeri ini, harus mampu menyatukan dan menstabilkan lembaga pesantren, NU harus tampil tidak hanya sebagai wadah para tokoh, namun harus menjadi pengayom, penampung, mikrofon kelembagaan pesantren sekaligus menjadi tulang punggung dalam mendorong prestasi mereka, yakni menjadikan pesantren sebagai sebuah institusi yang di pertimbangkan dalam peta pendidikan nasional, institusi yang diakui kwalitasnya di hadapan lembaga pendidkan lain baik yang negeri atau swasta.

            Pesantren saat ini tak ubahnya raksasa tertidur, raksasa yang pulas dalam mimpi-mimpi dunia ideal di atas lembaran kertas kuning, dengan kekuatan kultur budaya masyarakat yang telah tertanam sejak lama. Pasti saat pesantren terbangun, kekuatan pengaruhnya akan betul-betul mendrobrak paradigma pendidikan yang ada saat ini, karna pesantren mempunyai hal yang tidak di miliki oleh lembaga yang lain, yaitu konsep tarbiyah yang selalu beriringan dengan semangat dirosah yang senantiasa dianut. Konsep yang mengajarkan untuk menjadi manusia berahlak dan santun dalam kehidupan sosial, sebuah ajaran yang sangat di butuhkan negeri ini.

            Satu yang tak terlupakan, dalam upaya mengangkat martabat dan wibawa pesantren sebagai institusi pendidikan berkwalitas, adalah bagaimana pesantren harus berani membuka diri atas aspirasi dan keadaan masyarakat, pesantren tidak boleh lagi menjadi lembaga inklusif atau tertutup dari dunia luar. Pesantren harus mampu bersaing informasi, pemikiran, atau wacana, meskipun hal itu terbatas dalam ranah koridor pesantren atau khazanah islamiyah. Begitu luas khazanah islamiyah yang di miliki pesantren, kitab kuning seperti sebuah tumpukan bahan-bahan berkwalitas tak terpakai, hanya tinggal sedikit pengolahan dan penyajian yang menarik yang di kahendaki masyarakat.

            Di samping itu pesantren harus berani melakukan trobosan dalam mempromosikan diri, promosi yang mampu menarik minat masyarakat pada pendidikan islam yang  sesuai dengan para ulama-ulama  salaf. Pesantren harus berani menjemput bola yang ada dalam masyarakat serta tidak lagi pasif ataupun stagnan, karna pesantren tidak lagi menjadi pendidikan kaum elit seperti pada masa Wali Songo. Pesantren harus berani bersaing dalam mengambil hati masyarakat luas, bagaimana meyakinkan masyarakat bahwa menitipkan anak pada pesantren adalah pilihan terbaik yang di ambil.

            Sebuah kesimpulan kecil

            Pada masa ini,  pentingnya sebuah pendidikan telah diketahui segenap masyarakat, terutama pendidikan yang mampu menunjang kehidupan di masa depan, baik pendidikan yang mengandalkan kecerdasan ataupun sekedar keterampilan bila memiliki prospek lebih baik akan menjadi sebuah pendidikan favorit semua kalangan. Begitu pula lembaga pendidikan yang tersaji di tengah masyarakat, masuk pada sebuah lembaga pendidikan tidak lagi sebuah hal  istimewa. Sebab,  begitu banyak tawaran ataupun iming-iming yang menarik dijanjikan oleh berbagai institusi pendidikan, masyarakat tinggal menentukan pilihan mereka pada lembaga yang mereka inginkan. Di samping itu, banyaknya pesantren yang gugur dalam perjalan sejarah nasional, tak lain karena kurangnya inovasi-inovasi yang seharusnya wajib di miliki oleh sebuah institusi dalam usaha mendapatkan kepercayaan masyarakat atau pula inovasi yang mampu “melanggengkan” eksistensinya dalam sebuah negara.

 Dan, bila problem berkepanjangan  ini mampu diatasi, penulis yakin bahwa dengan segala potensi dan kelebihan yang di miliki, pesantren akan tampil sebagai institusi yang mapan dan bisa membanggakan serta di banggakan oleh kalangan pesantren. Amin........


                                                                                             (AHMAD MUJIB ZEN)
Banyuwangi 06-07- 2012
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar