Senin, 22 April 2013

JADZAB DALAM PERSPEKTIF ISLAM


Seputar jazdab

JAZDAB adalah “tampaknya sifat-sifat ilahi”, ketika seseorang mengalami jazdab, maka seseorang akan betul-betul mampu melihat secara nyata sifat-sifat allah, dan mampu merasakannya.

الكشف عن حقيقة الصوفية - (1 / 244)
الجذبة هي التجلي الإلهي، وفيها يحصل التحقيق بالأسماء الإلهية، والاستشعار بالاسم الصمد، أو بالألوهيةالفكر الصوفي

Secara global, seluruh istilah-istilah dalam kaum sufi (meskipun berbeda-beda) mempunyai satu orientasi, yaitu wahdatul wujud. Namun menurut Sayid Husen, dua  prinsip sufi yaitu antara wahdatul wajud dan insane kamil, memandang bahwa sesuatu apapun akan tampak pada asmaul husna dan sifat-ifat allah. Serta bagi insane kamil akan mampu menggambarkan tuhan dan sesuatu apapun.

الكشف عن حقيقة الصوفية - (1 / 94)
 يفهمنا هذا النص أن كل العبارات الصوفية المختلفة التي مرت والتي ستمر والتي لن تمر معنا، كلها تشير إلى معنى واحد، (وقد عرفناه، إنه وحدة الوجود يقول سيد حسين نصر مؤكداً وكل ما نستطيعه هو التشديد على أن التعاليم الصوفية تدور حول عقيدتين أساسيتين هما: (وحدة الوجود)، و(الإنسان الكامل). إن جميع الأشياء تجليات للأسماء الحسنى والصفات الِإلهية، فبالِإنسان الكامل يتصور الله بذاته، ويتأمل جميع الأشياء التي جاء بها إلى- حيز الوجود2).:

Jazdab menurut ahli sufi di sebabkan keimanan yang sangat kuat seorang hamba pada tuhanya hingga oleh allah, orang sufi akan di berikan sesuatu yang tidak akan bisa di lihat, tidak bisa di dengar, dan tak akan bisa di rasakan oleh manusia lain, di lain itu , orang yang mengalami jazdab akan senantiasa berdoa pada allah dengan tetap khauf (takut pada azdab allah) dan thoma’ (keinginan untuk masuk surga).

 (في ضوء الكتاب والسنة) - (1 / 18)
فهؤلاء الذين ادخر الله لهم ما لا عين رأت، ولا أذن سمعت، ولا خطر على قلب بشر لا شك أنهم أكمل الناس إيمانًا وحالًا، ومع ذلك فهم يدعون ربهم خوفًا وطمعًا : خوفًا من عذابه، وطمعًا في جنته . وآيات القرآن في هذا المعنى لا تحصى كثرة .

Tanda-tanda jazdab: saat mengalami jazdab, seseorang akan mengalami khudur atau menyatunya jiwa dengan allah yang maha esa (sebagian ulama sufi mendifinisikan keadaan seperti ini dengan istilah fana’).

الكشف عن حقيقة الصوفية - (1 / 93)
الحضور: النفس حين تتحد بالواحد في حال الجذب (هذا التعريف هو لأفلوطين، من المعجم الفلسفي الصادر عن مجمع اللغة العربية)، وإذا أردنا أن نصيغ هذه الجملة بالعبارة الصوفية، نقول: الحضور هو الفناء في الذات.

Di samping itu, tanda-tanda jazdab yang lain adalah, secara prilaku dia akan seperti orang gila, namun tidak seperti orang gila, karna sebetulnya orang yang sedang jazdab sedang menyatu, dalam penjelasan ulama, mereka mengatakan bahwa, gila yang di alami para orang yang sedang jazdab adalah karna mereka larut kedalam kecintaan mereka pada Allah

الكشف عن حقيقة الصوفية - (2 / 61)
في واقع الأمر، إن ما يحصل للصوفي هو نفس ما يحصل للمجنون من خدر في مراكز الوعي والضبط في الدماغ، مع فارق، أن ما يحصل للصوفي هو شيء شبه مرضي، لا مرضي، ولا يكون مرضياً مثل الجنون تماماً إلا عند الذين يستولي عليهم الجذب، والذين يقولون عنهم إنهم في مقام جمع
الجمع وكثيراً ما سمعنا ممن يقول عن مجنون أو معتوه إنه سائح في حب الله
Manurut as-syeh Abdul Aziz bin Muhammad Ad-Dibaghi (1095 H  - 1132H), sesungguhnya Allah  tidak akan mencintai seorang hamba, sebelum orang tersebut oleh allah di jadikan sebagai manusia yang ma’rifat bi allah, dan ha inilah yang menyebabkan seseorang mengalami jazdab.
الكشف عن حقيقة الصوفية - (1 / 373)
ويقول عبد العزيز الدباغ إن الله تعالى لا يحب عبداً حتى يُعرِّفه به، وبالمعرفة يطلع على أسراره تعالى، فيقع له الجذب إلى الله تعال:

Hukum orang yang sedang jazdab: saat seseorang mengalami jazdab,(karna dia seperti orang gila dan hilang kesadaran)menurut Ad- Burhami, tidak terkena taklif dari syariat, maka di tidak berkuwajiban hal-hal yang di perintahkan tuhan atas hambanya. Namun hal ini, di dalam kitab tholai’ul As-sufi di bantah habis-habisan oleh Abu Al- Qosim Al- Amidi. Menurut beliu, hal-hal seperti fana’, wahdatul wujud (termasuk juga jazdab) sudah melenceng dari agama islam, sebab hal itu merupakan kepercayaan-kepercayaan dari agam Hindu, Budha, Zairoster. Disamping itu, menurut  Aly Awajiy, hal yang di kemukakan oleh ahli sufi bahwa saat di mengalami jazdab tidak tertaklif, hanya sebuah bentuk kemalasan untuk thoat pada perintah agama, dan hal ini juga di dukung oleh imam sya’roni yang mengatakan bahwa para Wali-Wali ahli sufi pun tetap terkena hokum taklif dari syari’at.
طلائع الصوفية - (1 / 32)
 لاشك أن ما يدعو إليه الصوفية من الزهد ، والورع والتوبة والرضا ... إنما هي أمور من الإسلام ، وأن الإسلام يحث على التمسك بها والعمل من أجلها ، ولكن الصوفية في ذلك يخالفون ما دعا إليه الإسلام حيث ابتدعوا مفاهيم وسلوكيات لهذه المصطلحات مخالفة لما كان عليه الرسول صلى الله عليه وسلم وصحابته لكن الذي وصل إليه بعضهم من الحلول والاتحاد والفناء ، وسلوك طريق المجاهدات الصعبة ، إنما انحدرت هذه الأمور إليهم من مصادر دخيلة على الإسلام كالهندوسية والجينية والبوذية والأفلاطونية والزرادشتية والمسيحية.
فرق معاصرة للعواجي - (3 / 118)
وقال أيضاً: "إن الله يفتح للعارف وهو على فراشه ما لا يفتح لغيره وهو قائم يصلي"( )، وهذه دعوى صريحة إلى التكاسل في الطاعات وتعريض بقلة فضل الصلاة وتتضح منزلة التكاليف عند بعض أولياء الصوفية عند الشعراني في تراجمه لكثير من أعلامهم بما لا يدع مجالاً للشك في إلحاد وزندقة هؤلاء الذين يسميهم أولياء ويترضى عنهم أيضاً.

Menyikapi hal ini, Seykh Muhammad bin Sulaiman Al-Bagdadi mengatakan, sesungguhnya jazdab tanpa adanya ketaqwaan atau menjalankan perintah tuhan tak akan ada artinya, begitu pula bila hanya melakukan syariat tampa adanya jadzab, karna tidak akan menghasilkan apapun, kecuali menjadi golongan ulama yang cenderung dhohiriyah atau hanya melihat dhohir saja.
موسوعة الرد على الصوفية - (78 / 241)
ويقول محمد بن سليمان البغدادي الحنفي النقشبندي واعلم أن الجذب وحده من غير سلوك في الطريق المستقيم بامتثال أوامر الحق تعالى والاجتناب عن نواهيه لا نتيجة له أصلاً...وكذلك السلوك بامتثال الأوامر واجتناب النواهي من غير جذب إلهي لا نتيجة له غير الدخول من أهل الظاهر   في حيز العلماء والعباد              

Sebuah kesimpulan kecil

            jazdab, fana’, wahdatul wujud, dalam istilah sufi mempunyai tujuan sama, yaitu bagaimana menjadi manusia sempurna di sisi Allah, hingga merasa tidak ada apapun kecuali Allah, tidak ada yang tampak kecuali Allah. Begitu memahami kehambaan diri dan menyadari kebesaran allah melalui sifat dan asma-asmanya, hingga seperti mampu melihat tuhan seperti benda yang wujud.
            Sedangkan Jazdab dalam istilah sufi adalah,merupakan  sebuah fase di mana manusia oleh tuhan di tarik ke alam yang berbeda untuk di jadikan kekasihnya (ma’rifat bil allah) atau Allah akan memperlihatkan kekuasaanya serta rahasia yang tidak di ketahui manusia. Hal itu menjadikan dirinya lupa akan keadaanya (hingga banyak dari tokoh sufi yang seperti orang gila), namun tidak gila karna sakit, tapi karna keimanan yang luar biasa pada Allah atau pula karna dia telah tenggelam dalam kecintaanya pada Allah.
Hukum yang berlaku pada orang jazdab tetap seperti orang biasa, yaitu dia masih terkena taklif dari syari’at agama. Karna jika seseorang telah menjadi kekasih allah, pasti orang tersebut tidak akan meninggalkan perintah allah dan meninggalkan laranganya. Namun jika ada orang yang jazdab akan tetapi meninggalkan syari’at, hal itu hanyalah jazdab yang tidak ada faedahnya.

                                                                                      (Ahmad Mujib Zen)
Banyuwangi, 27 september 2012


PESANTREN YANG SEMAKIN TERMARGINALKAN

(GUGURNYA PONDOK-PONDOK NUSANTARA)

Banyaknya pondok pesantren yang gulung tikar atau terpaksa tutup serta minimnya pondok-pondok baru yang lahir dan berkembang belakangan ini, tanpa sadar ternyata telah membuat gundah dan khawatir kalangan pesantren, sebab selain  keberadaan pesantren telah  di anggap tidak lagi di minati masyarakat, pondok pesantren juga sangat tertinggal di banding pendidikan model lain, atau karena banyaknya anggapan “menaruh anak ke pesantren sama dengan membunuh masa depan anak !”.

            Di sadari atau tidak, tergerusnya jumlah pesantren dan termarginalkanya pondok saat ini menjadi bagian kesalahan dari kalangan pesatren pula, sebab tak bisa di pungkiri kedudukan pesantren merupakan sebuah lembaga mandiri yang tidak bergantung pada institusi apapun, semua kebijakanya murni dari kyai ataupun pengasuh di dalamnya. Namun sebenarnya, inilah masalah utama yang  harus di selesaikan kalangan pesantren dewasa ini, karena kemandirian pesantren ternyata tidak di sertai dengan munculnya rasa persaudaraan secara lembaga yang erat dengan pondok- pondok lain, ikatan yang ada hanya bersifat individu atau nasab saja, yaitu antara anak kyai satu dangan anak kiyai yang lain, santri pesantren satu dengan santri pondok lain, namun tidak mempunyai  ikatan yang bersifat kelembagaan yang bersifat resmi, ataupun wadah untuk menyatukan pondok satu dengan yang lain. Imbas dari realita ini adalah hilangnya kepedulian secara lembaga di antara mereka, apalagi manajemen, prinsip, budaya, ataupun sejarah satu pondok pesantren dengan pesantren yang lain tidak sama .

Di samping itu, pondok yang sedang mengalami kemerosotan santri ternyata begitu gengsi untuk meminta bantuan pada pondok lain yang lebih mapan, problem kemerosotan jumlah siswa hanya di anggap bagian dari takdir Allah yang harus di terima dengan sabar dan ikhlas sepenuh hati, hal ini bisa di lihat dari minimnya usaha yang mereka tampakkan, langkah yang di ambil cenderung pasif dan setagnan, tidak ada dalam istilah pesantren sebuah inovasi-inovasi demi memperbanyak jumlah siswa, promosi yang diupayakan pun hanya dari mulut ke mulut tidak melalui selebaran, koran, media eletronik, ataupun TV. Sebab, hal itu di nilai akan mengurangi kekeramatan atau wibawa pondok pesantren di mata masyarakat, atau pondok tak ubahnya hanya akan seperti sekolah-sekolah formal yang hanya memikirkan duniawi belaka.

Kedua, NU notabenya merupakan lembaga tak terpisahkan dari nafas pesantren, yaitu lembaga yang hampir menjadi rujukan seluruh warga pesantren, ternyata tidak mampu memberikan pengaruhnya pada kredebilitas ataupun legalitas pesantren di mata pemerintah, NU hanya lebih memprioritaskan diri pada individu-individu yang tinggal di pesantren, terutama dari golongan keluarga kyai yang menjadi pengasuh, namun sekali lagi permasalahan di atas terulang dalam hal ini, yaitu NU tak mampu menjadi rujukan  permasalahan yang di alami sebuah lembaga, karena NU hanya sebuah organisasi kemasyarakatan yang tidak bergerak dalam jalur politik apapun,  sakaligus kedudukan NU hanya sebuah ORMAS yang menampung aspirasi personal kyai bukan pondok yang mereka pimpin. Sebab, di mata sebuah organisast kemasyarakatan, yang tampak hanyalah personal dari KH Idris Marzuki, KH Subadar, KH Faqih dan kh-kh lain, yang tampak tidak persoalan yang bersifat lembaga pondok mereka. Imbas dari keadaan ini adalah hilangnya suara pasantren di hadapan pemerintah, suara yang munculpun tak mendapatkan respon sama sekali, begitu pula penolakan-penolakan yang di lakukan hanya menjadi angin lalu yang tak akan mengganggu sebuah kebijakan, karena pesantren tidak mempunyai wadah yang menyatukan dan menyeragamkan visi, misi ataupun sistem dan langkah yang akan di lakukan. 

Bila mengingat sejarah panjang keberadaan pesantren  serta keberadaanya yang tersebar di seluruh indonesia, seharusnya kedudukan pesantren tak ubahnya Universitas Al Azar di negara Mesir ataupun Universtas lain di muka bumi, karena pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di indonesia sekaligus bagian dari budaya dan sejarah negara ini. Namun karna tak mempunyai kekuatan lembaga sama sekali, yaitu kekuatan yang mampu memaksa pemerintah untuk mengakui keberadaannya sebagai lembaga pendidikan formal, dan tidak mempunyai wadah yang menyatukan dan menyetarakan mereka. Maka yang terjadi, di mata pemerintah pondok  pesantren hanyalah lembaga pendidikan non formal yang tidak mendapatkan legalitas serta bukan bagian dari program pemerintah dalam usaha mencerdaskan anak bangsa. Meski tragis, tapi hal yang menjadi realita tak akan terbantahkan, yaitu tidak adanya pengakuan pemerintah pada pendidikan pesantren merupakan salah satu kecolongan terbesar bagi seluruh warga pesantren, sebab seluruh lulusan pesantren tidak akan ada artinya di mata pemerintah, sepintar apapun seorang santri, serta dari pondok manapun tak ada bedanya.

Ketiga, antara pondok dengan masyarakat tak akan terpisah, terutamanya masyarakat yang  tergolong menengah kebawah, di mana hampir mayoritas santri berasal dari golongan masyarakat biasa,  masyarakat yang secara ekonomi tidak begitu menonjol ataupun masyarakat yang bertempat tinggal di desa, sebab minat masyarat atas ataupun penduduk kota cenderung akan berfikir ulang untuk menitipkan anak-anak mereka di sebuah pesantren, karEna lebih berfikir rasional dalam pendidikan yang di tempuh anak mereka, tentu masyarakat akan enggan melihat kenyataan tamatan sebuah pesantren hanya  menjadi imam tahlil, imam yasin, atau sekedar imam musola yang tidak memiliki prospek kehidupan sama sekali, apalagi pada pesantren yang tidak begitu  besar atau terkenal, tentu akan lebih enggan memondokkan anak mereka. Dari kenyataan ini tentu siapapun bisa menebak !, yaitu semakin berkurangnya jumlah siswa yang berada di pesantren. Padahal, di mata pendidikan kedudukan siswa tak ubahnya ruh yang berada dalam diri manusia, sebab tak mungkin bisa dipisahkan antara lembaga pendidikan dengan anak didik yang berada di dalamnya, karena tak akan di sebut pendidik bila tidak ada yang dididik, begitu pula sebaliknya tak akan di sebut anak didik bila tidak pernah di didik, maka hal yang paling mendasar atas banyaknya pondok mati atau gulung tikar adalah hilangnya santri yang menimba ilmu di dalamnya.lalu, hal yang tak bisa di abaikan atas turunnya minat mesyarakat untuk menitipkan anak mereka pada pendidikan pesantren adalah gejala modernisasi yang di alami berbagai daerah, yaitu keinginan untuk maju dan berkembang sesuai tuntutan zaman, sedangkan pondok tidak lagi menjadi lembaga pendidikan yang di impikan anak-anak ataupun remaja muslim seperti pada masa Wali Songo dahulu, dimana pondok adalah tempat pendidikan paling maju dan bonafit yang di isi oleh para putra kerajaan atau anak-anak bupati yang berpengaruh,  pondok saat ini hanya berisi sekumpulan anak yang droup out sekolah atau anak nakal yang bertaubat untuk memperbaiki diri, atau pula anak yang berkomitmen untuk benar-benar mendalami ilmu agama, pantas saja di kalangan masyarakat pondok hanyalah sebuah pendidikan tertinggal yang tidak memiliki pamor sama sekali, berangkat kepesantren sama halnya dengan menuju ke sekolah yang paling kuno, tertinggal, dan gengsi paling rendah di banding lembaga yang lain.

            Sebuah trobosan

            Menelaah beberapa aspek yang telah terpaparkan di atas, hal pertama yang harus di ambil oleh seluruh pondok-pondok yang masih bertahan saat ini adalah bagaimana membuat sebuah wadah yang mengayomi dan menyatukan mereka dalam satu visi dan misi , sebuah wadah yang menyatukan seluruh pondok salaf di nusantara. Dalam hal ini penulis menyadari akan tingkat  kesulitan dalam  merealisasikan pemikiran, mengingat pondok adalah lembaga yang sangat sulit didefinisikan secara valid dan konkrit, karena pondok adalah lembaga yang mandiri dan tak akan mau diikat  oleh institusi apapun, disamping itu pondok tak ubahnya seebuah individu-individu dinamis yang sangat berbeda antara satu dengan yang lain, setiap pondok hampir selalu mempunyai adat, sikap, dan sejarah yang berlainan dengan yang lainnya. Namun sulit bukan berarti tidak mungkin, karena hal ini bisa di atasi dengan adanya gerakan serentak pondok-pondok besar yang berpengaruh di negeri ini, seperti pondok  Lirboyo, Ploso , Sido Giri, Asembagus, Pati, dan yang lain, di mana pondok- pondok tersebut merupakan rahim dari lahirnya pondok-pondok lain yang lebih kecil. Sebab hal yang tidak akan pernah hilang dari identitas pesantren adalah rasa hormat yang mendalam pada guru mereka, perintah ataupun larangan guru adalah wajib hukumnya, maka bila pondok yang lebih besar telah menyatu, untuk menyatukan pondok yang masih belum mempunyai sejarah panjang akan dengan mudah di satukan dalam sebuah kelembagaan  tunggal.

            Namun sekali lagi, hal ini harus melalui kesadaran penuh dan perhatian pondok pesantren yang telah mapan dan berpengaruh, karena semakin besar sebuah pondok pesantren, semakin besar pula ego mereka dalam menerapkan sebuah sistem pendidikan, keyakinan bahwa toriqoh yang di anut akan dianggap paling baik di antara yang lain, dalam keadaan apapun prinsip-prisip dari tokoh pendiri akan di jadikan landasan utama dalam menjalan roda pendidikan pesantren. Oleh sebab itu, bila hal ini telah di selasaikan dengan baik, untuk menyatukan seluruh pesantren bukan lagi sebuah keniscayaan.

            Alangkah indah seandainya seluruh pondok menjadi sebuah institusi terpadu yang berjalalan secara kompak dan searah, begitu pula alangkah indah jika kesenjangan yang begitu dalam antara pondok besar akan hilang dengan sendirinya, sebab seluruh pondok akan setara atau sederajat, pondok akan menjadi sebuah institusi raksasa yang sangat di pertimbangkan kedudukanya, mengingat jumlah pondok yang ribuan serta sejarah panjang yang mengiringi keberadaan mereka, hal itu tidaklah begitu sulit untuk diwujudkan.

            Dalam hal ini, NU yang notabenya telah menjadi lumbung padi dari mayoritas pesantren di negeri ini, harus mampu menyatukan dan menstabilkan lembaga pesantren, NU harus tampil tidak hanya sebagai wadah para tokoh, namun harus menjadi pengayom, penampung, mikrofon kelembagaan pesantren sekaligus menjadi tulang punggung dalam mendorong prestasi mereka, yakni menjadikan pesantren sebagai sebuah institusi yang di pertimbangkan dalam peta pendidikan nasional, institusi yang diakui kwalitasnya di hadapan lembaga pendidkan lain baik yang negeri atau swasta.

            Pesantren saat ini tak ubahnya raksasa tertidur, raksasa yang pulas dalam mimpi-mimpi dunia ideal di atas lembaran kertas kuning, dengan kekuatan kultur budaya masyarakat yang telah tertanam sejak lama. Pasti saat pesantren terbangun, kekuatan pengaruhnya akan betul-betul mendrobrak paradigma pendidikan yang ada saat ini, karna pesantren mempunyai hal yang tidak di miliki oleh lembaga yang lain, yaitu konsep tarbiyah yang selalu beriringan dengan semangat dirosah yang senantiasa dianut. Konsep yang mengajarkan untuk menjadi manusia berahlak dan santun dalam kehidupan sosial, sebuah ajaran yang sangat di butuhkan negeri ini.

            Satu yang tak terlupakan, dalam upaya mengangkat martabat dan wibawa pesantren sebagai institusi pendidikan berkwalitas, adalah bagaimana pesantren harus berani membuka diri atas aspirasi dan keadaan masyarakat, pesantren tidak boleh lagi menjadi lembaga inklusif atau tertutup dari dunia luar. Pesantren harus mampu bersaing informasi, pemikiran, atau wacana, meskipun hal itu terbatas dalam ranah koridor pesantren atau khazanah islamiyah. Begitu luas khazanah islamiyah yang di miliki pesantren, kitab kuning seperti sebuah tumpukan bahan-bahan berkwalitas tak terpakai, hanya tinggal sedikit pengolahan dan penyajian yang menarik yang di kahendaki masyarakat.

            Di samping itu pesantren harus berani melakukan trobosan dalam mempromosikan diri, promosi yang mampu menarik minat masyarakat pada pendidikan islam yang  sesuai dengan para ulama-ulama  salaf. Pesantren harus berani menjemput bola yang ada dalam masyarakat serta tidak lagi pasif ataupun stagnan, karna pesantren tidak lagi menjadi pendidikan kaum elit seperti pada masa Wali Songo. Pesantren harus berani bersaing dalam mengambil hati masyarakat luas, bagaimana meyakinkan masyarakat bahwa menitipkan anak pada pesantren adalah pilihan terbaik yang di ambil.

            Sebuah kesimpulan kecil

            Pada masa ini,  pentingnya sebuah pendidikan telah diketahui segenap masyarakat, terutama pendidikan yang mampu menunjang kehidupan di masa depan, baik pendidikan yang mengandalkan kecerdasan ataupun sekedar keterampilan bila memiliki prospek lebih baik akan menjadi sebuah pendidikan favorit semua kalangan. Begitu pula lembaga pendidikan yang tersaji di tengah masyarakat, masuk pada sebuah lembaga pendidikan tidak lagi sebuah hal  istimewa. Sebab,  begitu banyak tawaran ataupun iming-iming yang menarik dijanjikan oleh berbagai institusi pendidikan, masyarakat tinggal menentukan pilihan mereka pada lembaga yang mereka inginkan. Di samping itu, banyaknya pesantren yang gugur dalam perjalan sejarah nasional, tak lain karena kurangnya inovasi-inovasi yang seharusnya wajib di miliki oleh sebuah institusi dalam usaha mendapatkan kepercayaan masyarakat atau pula inovasi yang mampu “melanggengkan” eksistensinya dalam sebuah negara.

 Dan, bila problem berkepanjangan  ini mampu diatasi, penulis yakin bahwa dengan segala potensi dan kelebihan yang di miliki, pesantren akan tampil sebagai institusi yang mapan dan bisa membanggakan serta di banggakan oleh kalangan pesantren. Amin........


                                                                                             (AHMAD MUJIB ZEN)
Banyuwangi 06-07- 2012
            

KONTRADIKSI ANTARA PESANTREN DAN NEGARA

PERTENTANGAN HUKUM PESANTREN DAN HUKUM NEGARA

                Islam mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia,  islam juga sebuah agama final dari tuhan yang tak ada sedikitpun terdapat kekurangan atau penambahan. Namun bila hukum-hukum islam menjadi bias di hadapan hukum negara, maka sesungguhnya pemeluk agama islam telah mengalami kemandekan berfikir dalam mengambil ketetapan tuhan yang terhampar di dalam kitab suci Al Qur’an dan hadist Rasul yang mulia.
           Dalam berbagai aspek, hukum islam seperti di perkosa oleh hukum-hukum konstitusi yang dirumuskan negara, hukum yang berdasarkan kekuatan berfikir manusia, hukum yang lebih bersifat kondisional dan dinamis, serta  hukum yang hanya sesaat saja di anggap baik atau  sesuai, hukum islam di buat benar-benar tak berarti, karena hukum islam tak ubahnya sebuah wacana usang tak berbobot yang harus diabaikan.
                Hukum Islam juga sering diinjak-injak oleh pemikiran orentalis barat, karena ketidakpercayaan mereka akan sebuah kesucian wahyu atau kalam ilahi, di hadapan mereka kedudukan akal lebih tinggi dari pada “sekedar” teks-teks mati mu’jizat nabi Muhammad SAW, bila sebuah ketetapan mampu dicerna oleh akal atau dianggap rasional maka akan di pakai, namun bila hukum islam dirasa tidak rasional sama sekali, maka harus diganti dengan ketetapan yang lebih relevan dan dapat diterima oleh akal.
             Sebagai santri yang tiap hari bergelut dengan buku atau kitab tentang hukum islam, dalam pandangan penulis, beberapa faktor yang melatar belakangi terjadinya jurang pemisah antara hukum islam dengan hukum negara adalah minimnya pemahaman umat islam sendiri atas hukum yang menjadi ketetapan agama, hukum yang  dengan jelas telah dituangkan dalam Al Qur’an atau Hadits Nabi Muhammad SAW atau pula hukum yang menjadi rumusan sarjana-sarjana islam serta menjadi konsensus mayoritas ulama.
                Di lain itu, meskipun negara Indonesia mempunyai masyarakat yang mayoritas muslim, ternyata dari wakil-wakil yang telah duduk di dewan Legislatif ataupun eksekutif, ternyata belum mampu menuangkan prinsip-prisip hukum agama pada hukum negara, mereka lebih suka mencontoh hukum dari negara lain dan non muslim, seperti Amerika, Jepang, Australia dan negara-negara lain yang lebih maju. Dalam berbagai kesempatan pun, mereka mengatakan bahwa “bila negara memakai hukum islam, maka negara tidak akan maju dan berkembang seperti nasib-nasib negara islam di seluruh dunia saat ini”, hukum islam dianggap hanya akan membawa kemunduran masal sebuah negara. Hampir seluruh ruang hukum negara ini bertentangan dengan hukum islam, hukum pernikahan, pidana, waris, hukum perdata, hukum bersifat nasional ataupun internasional juga sering kali bertolak belakang dengan syari’at islam. Sebab,  hukum negara tidak mengenal halal dan haram ataupun batal dan fasid, hukum negara lebih bersifat “formalitas mengatur”, yaitu hukum yang lebih didasari semangat untuk  mentertibkan dan mengatur kemajemukan seluruh rakyat, baik beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghuchu semua mempunyai peraturan sama. Namun hal ini berakibat tergerusnya prinsip islam atas bebagai aspek, karena islam tidak hanya tata cara formalitas ibadah, islam adalah sebuah agama yang mengatur seluruh dimensi kehidupan  umatnya, mulai hal terkecil atau terbesar, individu atau umum, nasional ataupun internasional telah di tetapkan, baik melalui Al Qur’an ataupun Hadist dari nabi Muhammad. Hukum yang telah matang dan terbukukan dengan sangat terperinci di lembaran lembaran kitab khazanah islamiyah. Bertentangan dengan “sebagian” hukum islam, berarti bertentangan dengan islam itu sendiri. Menggunakan sebagian hukum islam, bararti telah membuang sebagian hukum lain yang di tetapkan oleh tuhan.
                Di samping itu, dalamnya jurang pemisah yang terjadi antara umat islam juga tak bisa di abaikan, terutama corak pemikiran pesantren salaf yang menjadi bagian dari kultur dan budaya indonesia dengan kalangan kampus yang mewakili islam modern, terpisah karena tidak adanya komunikasi yang terjalin, seakan pemikiran pesantren berada di kutub utara dan pemikiran kampus berada di kutub selatan. Pesantren dengan segudang khazanah islamnya, menjadi golongan yang mengganggap sebuah zaman harus tuduk pada hukum agama, syariat turun kedunia sebagai pengatur dan pengendali zaman. Namun kalangan kampus menilai sebaliknya, agama harus “melek” pada keadaan atau kondisi zaman, agama harus dinamis serta berkembang sesuai tuntutan waktu.

Proyek besar

                Untuk menyelesaikan problem di atas atas, beberapa langkah revolusioner harus berani diambil dan dikembangkan, terutamanya dari kalangan kader yang mewakili beberapa kalangan umat islam di negeri ini, baik pemerintah, kaum akademis, masyarakat pesantren, ataupun masyarakat umum. Sebuah gerakan yang sanggup menjembatani kesenjangan sudut pandang, gerakan yang tidak mendiskriminasikan salah satu kelompok, gerakan yang bertujuan menancapkan syari’at islam sebagai solusi setiap permasalahan yang terjadi. Pondok pesantren dengan kemurnian keilmuan mereka, pemerintah dengan semangat keadilan sosial bagi seluruh rakyat, akademis dengan kekayaan wacana dan inovasi pemikiran modern, serta masyarakat sebagai pihak yang paling tahu sebuah keadaan zaman.
                Sebab, setiap pemeluk agama pasti ingin melaksanakan agama mereka sebaik mungkin, namun keadaan, kemampuan, dan pengetahuannyalah yang membedakan. Maka bila hal ini telah menemukan solusi terbaik dan diterima segenap golongan, kekuatan dan keindahan islam yang rohmaatan lil ‘alamini akan muncul kepermukaan, akan menjadi kekuatan politik, sosial, ataupun pemikiran yang spektakuler.
                Lahirnya masa keemasan Islam bukanlah isapan jempol belaka, bukan sebuah dongeng indah sebelum tidur, masa keemasan islam hanya menunggu waktu dan langkah tepat untuk menyatukan seluruh kekuatan islam yang di miliki penduduk negeri ini, saat seluruh golongan tidak lagi mementingkan kelompok masing-masing, namun berjuang dalam ranah i’la kalitullah, berjuang untuk mendapatkan ruang agama lebih luas di banding saat ini.
                Dalam dari pada itu, penekanan ego masing-masing kelompok harus menjadi agenda wajib, ego yang sekian lama mengikis persatuan ummat islam, terutama warga pesantren dan kalangan akademis. Karena prinsip dua golongan inilah yang paling dikikis, yaitu prisip membabi buta dalam melihat sebuah agama. Dalam prisip pesantren, khazanah islamiyah yang telah terbukukan dalam kitab-kitab salaf akan senantiasa relevan dan solusi terbaik, “apapun permasalahannya, kitab kuning jawabannya” adalah keputusan mati masyarakat pesantren.
Dalam melihat dan mendiskripsikan sebuah permasalahan, hal pertama yang di lakukan kalangan pesantren adalah membuka lembaran kitab kuning, politik, sosial, perbankan, medis, bahkan militerpun, mereka akan sangat kosisten dengan teks yang tertuang dalam kitab kuning. Hal inilah yang menjadikan pesantren sebagai sebuah lembaga “kuno”, konservatif, kaku, dan tertutup, begitu pula hukum-hukum yang dicetuskan sering kali malah bersebrangan dengan keadaan masyarakat, tidak responsif dan sempit. Bahkan, beberapa hasil rumusan pesantren menjadi bahan tertawaan kalangan masyarakat, seperti cetusan hukum tentang facebook, internet, rebonding.
Sementara itu, kalangan akademis dengan semangat perubahan yang mereka anut, lebih sering menyalahkan kaum pesantren, dalam pemikiran atau wacana pun lebih sering bertentangan dengan pesantren. Kaum akademis “yang seharusnya” menjadi pengembang pemikiran salaf malah cenderung  menganggap rendah lautan pemikiran yang tertata secara rapi dan terperinci dalam kitab kuning. Kaum akademis seakan “malu” bila pemikirannya di dasari kitab-kitab yang masih salaf, di samping itu, oleh kaum pesantren kaum akademis di nilai “brutal” dalam mencetuskan beberapa hukum agama, karena banyaknya nas syariat yang diabaikan dan ditinggalkan.
Bila dua kelompok pemikiran militan ini tidak bisa menekan ideologi masing-masing, jurang pemisah di antara keduanya akan semakin lebar dan dalam, terutama yang terjadi di kalangan bawah. Pertentangan dan saling menganggap salah pada kelompok lain akan semakin menjadi.
Ahirnya, bila dua saudara ini mau berkolaborasi (karena dari satu rahim yaitu islam) mau berkolaborasi dan saling melengkapi, masa keemasan yang di harapkan setiap umat islam akan muncul. Saat hukum islam menjadi lebih berkualitas dan murni, saat hukum Islam bermetamorfosis namun tidak kehilangan pondasinya.

Penutup
 Islam adalah agama persatuan, agama yang mampu menjalin ikatan dengan agama apapun, seperti yang tertuang dalam piagam madinah putusan nabi Muhammad untuk menyatukan seluruh penduduk dalam satu tujuan dan harapan. Islam juga agama yang mengajarkan dialog mufakat, dialog untuk menemukan solusi terbaik dalam menyikapi sebuah permasalahan.  Maka, bila seluruh elemen yang mewakili pemikiran islam mau menyatu dan berkolaborasi, memahami  dan menghargai pemikiran golongan lain, pasti problem utama kelompok yang memakai prinsip islam saat ini akan teratasi. Problem perpecahan yang berlarut-larut dan melemahkan eksistensi ummat islam sendiri.

               
                                                                                                             ( AHMAD MUJIB ZEN, )
                                                                                                Aktifis LBM, banyuwangi, o7-o7-2012

PERTENTANGAN HUKUM PESANTREN DENGAN NEGARA

                Islam mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia,  islam juga sebuah agama final dari tuhan yang tak ada sedikitpun terdapat kekurangan atau penambahan. Namun bila hukum-hukum islam menjadi bias di hadapan hukum negara, maka sesungguhnya pemeluk agama islam telah mengalami kemandekan berfikir dalam mengambil ketetapan tuhan yang terhampar di dalam kitab suci Al- Qur’an hadist rasul yang mulia.
                Dalam berbagai aspek, hukum islam seperti di perkosa oleh hukum-hukum konstitusi yang di rumuskan negara, hukum yang berdasarkan kekuatan berfikir manusia, hukum yang lebih bersifat kondisional dan dinamis, serta  hukum yang hanya sesaat saja di anggap baik atau  sesuai, hukum islam di buat benar-benar tak berarti, karna hukum islam tak ubahnya sebuah wacana usang tak berbobot yang harus di abaikan.

                Hukum islam juga sering di injak-injak oleh pemikiran orentalis barat, karna ketidak percayaan mereka akan sebuah kesucian wahyu atau kalam ilahi, di hadapan mereka kedudukan aqal lebih tinggi dari pada “sekedar” teks-teks mati mu’jizat nabi muhammad SAW, bila sebuah ketetapan mampu di cerna oleh aqal atau di anggap rasional maka akan di pakai, namun bila hukum islam di rasa tidak rasional sama sekali, maka harus di ganti dengan ketetapan yang lebih relefan dan dapat di terima oleh akal.

                Sebagai santri yang tiap hari bergelut dengan buku atau kitab tentang hukum islam, dalam pandangan penulis, beberapa faktor yang melatar belakangi terjadinya jurang pemisah antara hukum islam dengan hukum negara adalah minimnya pemahaman umat islam sendiri atas hukum yang menjadi ketetapan agama, hukum yang  dengan jelas telah di tuangkan dalam Al- Qur’an atau hadist Nabi Muhammad SAW atau pula hukum yang menjadi rumusan sarjana-sarjana islam serta menjadi konsesus mayoritas para ulama.

                Di lain itu, meskipun negara indonesia mempunyai masyarakat yang mayoritas muslim, ternyata dari wakil-wakil yang telah duduk di dewan Legislatif ataupun eksekutif, ternyata belum mampu menuangkan prinsip-prisip hukum agama pada hukum negara, mereka lebih suka mencontoh hukum dari negara lain dan non muslim, seperti Amirika, Jepang, Australi dan negara-negara lain yang lebih maju. Dalam berbagai kesempatan pun, mereka mengatakan bahwa “bila negara memakai hukum islam, maka negara tidak akan maju dan berkembang seperti nasib-nasib negara islam di seluruh dunia saat ini”, hukum islam di anggap hanya akan membawa kemunduran masal sebuah negara. Hampir seluruh ruang hukum negara ini bertentangan dengan hukum islam, hukum pernikahan, pidana, waris, hukum pertadata, hukum bersifat nasional ataupun internasionalnya sering kali bertolak belakang dengan syari’at islam. Sebab,  hukum negara tidak mengenal halal dan haram ataupun batal dan fasid, hukum negara lebih bersifat “formalitas mengatur”, yaitu hukum yang lebih di dasari semangat untuk  mentertibkan dan mengatur kemajemukan seluruh rakyat, baik beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghuchu semua mempunyai peraturan sama. Namun hal ini berakibat tergerusnya prinsip islam atas bebagai aspek, karna islam tidak hanya tatacara formalitas ibadah, islam adalah sebuah agama yang mengatur seluruh dimensikehidupan  umatnya, mulai hal terkecil atau terbesar, indifidu atau umum, nasional ataupun internasional telah di tetapkan, baik melalui Al Qur’an ataupun hadist dari nabi Muhammad, hukum yang telah matang dan terbukukan dengan sangat terperinci di lembaran lembaran kitab khazanah islamiyah. Bertentangan dengan “sebagian” hukum islam, berarti bertentangan dengan islam itu sendiri. Menggunanakan sebagian hukum islam, bararti telah membuang sebagian hukum lain yang di tetapkan oleh tuhan.

                Di samping itu, dalamnya jurang pemisah yang terjadi antara umat islam juga tak bisa di abaikan, terutama corak pemikiran pesantren salaf yang menjadi bagian dari kultur dan budaya indonesia dengan kalangan kampus yang mewakili islam modern, terpisah karna tidak adanya komunikasi yang terjalin, seakan pemikiran pesantren berada di kutub utara dan pemikiran kampus berada di kutub selatan. Pesantren dengan segudang khazanah islamnya, menjadi golongan yang mengganggap sebuah zaman harus tuduk pada hukam agama, syariat turun kedunia sebagai pengatur dan pengendali zaman, Namun kalangan kampus menilai sebaliknya, agama harus “melek” pada keadaan atau kondisi zaman, agama harus dinamis serta berkembang sesuai tuntutan waktu.

Proyek besar

                Untuk menyelesaikan problem di atas atas, beberapa langkah revolosioner harus berani di ambil dan di kembangkan, terutamanya dari kalangan kader yang mewakili beberapa kalangan umat islam di negri ini, baik pemerintah, kaum akademis, masyarakat pesantren, ataupun masyarakat umum. Sebuah gerakan yang sanggup menjebatani kesenjangan sudut pandang, gerakan yang tidak mendiskriminasikan salah satu kelompok, gerakan yang bertujuan menancapkan syari’at islam sebagai solusi setiap permasalahan yang terjadi. Pondok pesantren dengan kemurnian keilmuan mereka, pemerintah dengan semangat keadilan sosial bagi seluruh rakyat, akademis dengan kekayaan wacana dan inovasi pemikiran modern, serta masyarakat sebagai pihak yang paling tahu sebuah keadaan zaman.

                Sebab, setiap pemeluk agama pasti ingin melaksanakan agama mereka sebaik munkin, namun keadaan, kemampuan, dan pengetahuanyalah yang membedakan. Maka bila hal ini telah menemukan solusi terbaik dan di terima segenap golongan, kekuatan dan keindahan islam yang rohmaatan lil ‘alamini akan muncul kepermukaan, akan menjadi kekuatan politik, sosial, ataupun pemikiran yang sepektakuler.

                Lahirnya masa keemasan islam bukanlah isapan jempol belaka, bukan sebuah dongeng indah sebelum tidur, masa keemasan islam hanya menunggu waktu dan langkah tepat untuk menyatukan seluruh kekuatan islam yang di miliki penduduk negri ini, saat seluruh golongan tidak lagi mementingkan kelompok masing-masing, namun berjuang dalam ranah i’la kalitullah, berjuang untuk mendapatkan ruang agama lebih luas di banding saat ini.

                Dalam dari pada itu, penekanan ego masing-masing kelompok harus menjadi agenda wajib, ego yang sekian lama mengikis persatuan ummat islam, terutama warga pesantren dan kalangan akademis. Karna prisip dua golongan inilah yang paling di kikis, yaitu prisip membabi buta dalam melihat sebuah agama. Dalam prisip pesantren, hazanah islamiyah yang telah terbukukan dalam kitab-kitab salaf akan senantiasa relefan dan solusi terbaik, “apapun permasalahanya, kitab kuning jawabanya” adalah keputusan mati masyarakat pesantren.

Dalam melihat dan mendiskripsikan sebuah permasalahan, hal pertama yang di lakukan kalangan pesantren adalah membuka lembaran kitab kuning, politik, sosial, perbankan, medis, bahkan militerpun, mereka akan sangat kosisten dengan teks yang teertuang dalam kitab kuning. Hal inilah yang menjadikan pesantren sebagai sebuah lembaga “kuno”, konservatif, kaku, dan tertutup, begitu pula hukum-hukum yang di cetuskan sering kali malah bersebrangan dengan keadaan masyarakat, tidak responsif dan sempit. Bahkan, beberapa hasil rumusan pesantren menjadi bahan tertawaan kalangan masyarakat, seperti cetusan hukum tentang face book, internet, rebonding.

Sementara itu, kalangan akademis dengan semangat perubahan yang mereka anut, lebih sering menyalahkan kaum pesantren, dalam pemikiran atau wacana pun lebih sering bertentangan dengan pesantren. Kaum akademis “yang seharusnya” menjadi pengembang pemikiran salaf malah cenderung  menganggap rendah lautan pemikiran yang tertata secara rapi dan terperinci dalam kitab kuning. Kaum akademis seakan “malu” bila pemikirannya di dasari kitab-kitab yang masih salaf, di samping itu, oleh kaum pesantren kaum akademis di nilai “brutal” dalam mencetuskan beberapa hukum agama, karna banyaknya nas syariat yang di abaikan dan di tinggalkan.

Bila dua kelompok pemikiran militan ini tidak bisa menekan ideologi masing-masing, jurang pemisah di antara keduanya akan semakin lebar dan dalam, terutama yang terjadi di kalangan bawah. Pertentangan dan saling menganggap salah pada kelompok lain akan semakin menjadi.

Ahirnya, bila dua saudara ini mau berkolaborasi (karna dari satu rahim yaitu islam) mau berkolaborasi dan saling melenkapi, masa keemasan yang di harapkan setiap umat islam akan muncul. Saat hukum islam menjadi lebih berkwalitas dan murni, saat hukum islam bermetamorfosis namun tidak kehilangan pondasinya.

Penutup

 Islam adalah agama persatuan, agama yang mampu menjalin ikatan dengan agama apapun, seperti yang tertuang dalam piagam madinah putusan nabi Muhammad untuk menyatukan seluruh penduduk dalam satu tujuan dan harapan. Islam juga agama yang mengajarkan dialog mufakat, dialog untuk menemukan solusi terbaik dalam menyikapi sebuah permasalahan.  Maka, bila seluruh elemen yang mewakili pemikiran islam mau menyatu dan berkolaborasi, memahami  dan menghargai pemikiran golongan lain, pasti problem utama kelompok yang memakai prinsip islam saat ini akan teratasi. Problem perpecahan yang berlarut-larut dan melemahkan eksistensi ummat islam sendiri.

               
                                                                                                                ( AHMAD MUJIB ZEN, )
                                                                                                Aktifis LBM, banyuwangi, o7-o7-2012

BONGKAR KUBURAN


Pembongkaran kuburan

1.    Diskripsi masalah
Seringnya terjadi kecelakaan lalu lintas di suatu daerah akibat padatnya pengguna jalan dan sempitnya jalan yang dilalui, telah menyebabkan Pemda dan masyarakat setempat sepakat uantuk mengadakan pelebaran jalan. Namun terkadang mereka sama sekali tidak mempertimbangkan lokasi yang menjadi sasaran pelebaran jalan tersebut, yang imbasnya kuburanpun ikut dibongkar
Pertanyaan
Bagaimana hukum pembongkaran kuburan dalam kasus di atas ?

 1.  الفقه على المذاهب الأربعة الجزء الأول ص: 536 دار الفكر
يكره أن يبنى على القبر بيت أو قبة أو مدرسة أو مسجد أو حيطان تحدق به كالحيشان إذا لم يقصد بها الزينة والتفاخر وإلا كان ذلك حراما وهذا إذا كانت الأرض غير مسبلة ولا موقوفة والمسبلة هى التى اعتاد الناس الدفن فيها ولم يسبق لأحد ملكها والموقوفة هى ما وقفه مالك بصيغة الوقف كقرافة مصر التى وقف سيدنا عمر رضى الله عنه. أما المسبلة والموقوفة فيحرم البناء مطلقا لما فى ذلك من الضيق التحجير على الناس وهذا الحكم متفق عليه بين الأئمة إلا أن الحنابلة قالوا إن البناء مكروه مطلقا سواء كانت الأرض مسبلة أو لا والكراهة فى المسبلة أشد
 1.  المجموع ألجزء الخامس ص: 260
السادسة قال الشافعي والأصحاب يكره أن يجصص القبر وأن يكتب عليه اسم صاحبه ذلك وأن يبنى عليه وهذا خلاف فيه عندنا وبه قال مالك وأحمد وداود وجماهير العلماء وقال أبو حنيفة لا يكره دليلنا الحديث السابق قال أصحابنا رحمهم الله ولا فرق في البناء بين أن يبنى قبة أو بيتاً أو غيرهما ثم ينظر فإن كان مقبرة مسبلة حرم عليه ذلك قال أصحابنا ويهدم هذا البناء بلا خلاف قال الشافعي في «الأم» ورأيت من الولاة من يهدم ما بنى فيها ولم أر الفقهاء يعيبون عليه ذلك ولأن في ذلك تضييقاً على الناس قال أصحابنا وإن كان القبرفي ملكه جاز بناء ما شاء مع الكراهة ولا يهدم عليه قال أصحابنا وسواء كان المكتوب على القبر في لوح ثم رأسه كما جرت عادة بعض الناس أم في غيره فكله مكروه لعموم الحديث قال أصحابنا وسواء في كراهة التجصيص للقبر في ملكه أو المقبرة المسبلة وأما تطيين القبر فقال إمام الحرمين والغزالي يكره ونقل أبو عيسى الترمذي في جامعه المشهور أن الشافعي قال لا بأس بتطيين القبر ولم يتعرض جمهور الأصحاب له فالصحيح أنه لا كراهة فيه كما نص عليه ولم يرد فيه نهي فرع قال البغوي وغيره يكره أن يضرب على القبر مظلة لأن عمرt  رأى مظلة على قبر فأمر برفعها وقال دعوه يظله عمله 
 2.  حاشية البجيرمى على الخطيب الجزء الثانى ص: 297 – 298 دار الفكر
ويظهر حمل ما أفتى به ابن عبد السلام على ما إذا عرف حال البناء فى الموضع فإن جهل ترك حملا على وضعه بحق كما فى الكنائس التى تقر أهل الكنائس عليها فى بلادنا وجهلنا حالها وكما فى البناء الموجود على حافات الأنهار والشوارع اهـ وعبارة شرح م ر وصرح فى المجموع بحرمة البناء فى المسبلة قال الأذرعى ويقرب إلحاق الموات بها لأن فيه تضييقا على المسلمين بما لا مصلحة ولا غرض شرعى فيه بخلاف الأحياء اهـ -إلى أن فال- قوله (مسبلة) وهى أعم من الموقوفة لصدق تعريفها بموات اعتادوا الدفن فيه فهذا يسمى مسبلا لا موقوفا شوبرى قوله (وهدم) إلا إن احتيج إلى البناء فيها لخوف نبش سارق أو سبع أو تخرقة سيل فلا يهدم إلا ما حرم وضعه والهادم له الحاكم اى يجب على الحاكم هدمه دون الآحاد م ر وقال حج: وينبغى أن لكل أحد هدم ذلك ما لم يخشى منه مفسدة فيتعين الرفع للإمام. قوله (أو غير ذلك) ومنه ما اعتيد من جعل أربعة أحجار مربعة محيطة بالقبر كما فى حج,قال سم: إلا إذا كانت الأحجار المذكورة لحفظه من النبش والدفن عليه ومن المحرم زرع شئ فيها وإن تيقن بلى من بها لأنه يجوز الإنتفاع بها بغير الدفن فيقلع وجوبا وقول المتولى يجوز بعد البلى محمول على المملوكة إهـ حج
 3.  نهاية الزين ألجزء الأول ص: 154
و إن كانت الأرض مملوكة أو مباحة كالموات كره بناء له أي القبر أو عليه أو تجصيصه أي تبييضه بالنورة البيضاء ولا بأس بتطيينه وتكره الكتابة عليه سواء كتب اسم صاحبه أو غيره نعم إن كتب اسم صاحبه ونسبه بقصد أن يعرف فيزار فلا كراهة بشرط الاقتصار على قدر الحاجة لا سيما قبور الأولياء والعلماء والصالحين فإنها لا تعرف إلا بذلك ثم تطاول السنين ويكره أن يجعل على القبر مظلة كقبة لأن عمر t رأى قبة فنحاها وقال دعوه يظله عمله وإن كانت الأرض مسبلة للدفن وهي التي جرت عادة أهل البلد بالدفن فيها حرم البناء وهدم واستثنى بعضهم قبور الأنبياء والشهداء والصالحين ونحوهم ولو كان بقبة لإحياء الزيارة والتبرك بهم وأفتى به فلهذا وقال أمر به الشيخ الزيادي مع ولايته وكل ذلك لم يرتضه العلامة الشوبري وقال الحق خلافه وقبة الإمام الشافعي t ليست في الأرض المسبلة بل هي في دار ابن عبد الحكيم ولو وجد بناء في أرض مسبلة ولم يعلم أصل وضعه هل هو بحق أو لا ترك لاحتمال أنه وضع بحق نعم لو كان البناء في المسبلة لخوف نبش سارق أو سبع أو تخرق سيل جاز ولا يهدم
 4.  حاشية ابن عابدين ألجزء الرابع ص: 378
ولا شك أن الضرر ظاهر في اتخاذ جميع الطريق مسجدا لإبطال حق العامة من المرور المعتاد لدوابهم وغيرها فلا يقال به إلا بالتأويل بأن يراد بعض الطريق لا كله فليتأمل اهـ وأجيب بأن صورته ما إذا كان لمقصد طريقان واحتاج العامة إلى مسجد فإنه يجوز جعل أحدهم مسجدا وليس فيه إبطال حقهم بالكلية قوله لا عكسه يعني لا يجوز أن يتخذ المسجد طريقا وفيه نوع مدافعة لما تقدم للبعض والكل شرنبلالية قلت إن المصنف قد تابع صاحب الدرر مع أنه في جامع الفصولين نقل أو لا جعل شيئا من المسجد طريقا ومن الطريق مسجدا جاز ثم رمز لكتاب آخر لو جعل الطريق مسجدا يجوز لا جعل المسجد طريقا لأنه لا تجوز الصلاة في الطريق فجاز جعله مسجدا ولا يجوز المرور في المسجد فلم يجز جعله طريقا اهـ ولا يخفى أن المتبادر أنهما قولان في جعل المسجد طريقا بقرينة التعليل المذكور ويؤيده ما في التتارخانية عن فتاوى أبي الليث وإن أراد أهل المحلة أن يجعلوا شيئا من المسجد طريقا للمسلمين فقد قيل ليس لهم ذلك وأنه صحيح ثم نقل عن العتابية عن خواهر زاده إذا كان الطريق ضيقا والمسجد واسعا لا يحتاجون إلى بعضه تجوز الزيادة في الطريق من المسجد لأن كلها للعامة اهـ والمتون على الثاني فكان هو المعتمد لكن كلام المتون في جعل شيء منه طريقا وأما جعل كل المسجد طريقا فالظاهر أنه لا يجوز قولا واحدا نعم في التتارخانية سئل أبو القاسم عن أهل مسجد أراد بعضهم أن يجعلوا المسجد رحبة والرحبة مسجدا أو يتخذوا له بابا أو يحلوا بابه عن موضعه وأبى البعض ذلك قال إذا اجتمع أكثرهم وأفضلهم ليس للأقل منعهم اهـ قلت ورحبة المسجد ساحته فهذا إن كان المراد به جعل بعضه رحبة فلا إشكال فيه وإن كان المراد جعل كله فليس فيه إبطاله من كل جهة لأن المراد تحويله بجعل الرحبة مسجدا بدله بخلاف جعله طريقا تأمل ثم ظاهر ما نقلناه أن تقييد الشارح أولا بالباني وثانيا قيد نعم في التتارخانية وعن محمد في مسجد ضاق بأهله
 5.  حواشى الشروانى الجزء الرابع ص:188-189  دار الكتب العملية
(تنبيه) ظاهر كلامه أن البناء فى المقبرة المسبلة مكروه ولكن يهدم فإنه أطلق فى البناء وقصل فى الهدم بين المسبلة وغيرها ولكنه صرح فى المجموع وغيره بتحريم البناء فيها وهو المعتمد فلو صرح به هنا كان أولى فإن قيل يؤخذ من قوله هدم الحرمة أجيب بالمنع فقد قال فى الروضة فى آخر شروط الصلاة إن غرس الشجرة فى المسجد مكروه ثم قال فإن غرست قطعت وجمع بعضهم بين كلامى المصنف بحمل الكراهة على ما إذا بنى على القبر خاصة بحيث يكون البناء واقعا فى حريم القبر والحرمة على ما إذا بنى على القبر رقبة أو بيتا يسكن فيه والمعتمد الحرمة مطلقا إهـ
 6.  فقه الإسلامى الجزء الثانى ص: 527  دار الفكر
2- يحرم نبش القبر ما دام يظن فيه شىء من عظام الميت فيه فلا تنيش عظام الموتى عند حفر القبور ولا تزال موضعها ويتقى كسر عظامها لقوله e: "كسر عظم الميت ككسر عظم الحى فى الإثم" أو كسر عظم الميت ككسره حيا" ويسمثنى من ذلك حالات تقتضيها الضرورة أو الحاجة والغرض الصحيح وأهمها ما يأتى
 7.  فتح البارى الجزء الثالث ص: 215 دار الفكر
قوله باب هل يخرج الميت من القبر واللحد لعلة أي لسبب وأشار بذلك إلى الرد على من منع إخراج الميت من قبره مطلقا أو لسبب دون سبب كمن خص بالجواز بما لو دفن بغير غسل أو بغير صلاة فإن في حديث جابر الأول دلالة على الجواز إذا كان في نبشه مصلحة تتعلق به من زيادة البركه له وعليه يتنزل قوله في الترجمة من القبر وفي حديث جابر الثاني دلالة على جواز الإخراج لأمر يتعلق بالحي لأنه لا ضرر على الميت في دفن ميت آخر معه وقد بين ذلك جابر بقوله فلم تطب نفسي وعليه يتنزل قوله واللحد لأن والد جابر كان في لحد وإنما أورد المصنف الترجمة بلفظ الاستفهام لأن قصة عبد الله بن أبي قابلة للتخصيص وقصة والد جابر ليس فيها تصريح بالرفع قاله الزين بن المنير اهـ

MITOS KUCING


Kerangka Analisis Masalah
Suatu tradisi yang masih diyakini oleh kebanyakan orang apabila kendaraan menabrak seekor kucing (hewan yang dianggap berpengaruh dan dihormati oleh syara') sampai mati maka pemiliknya melakukan perawatan seperti membungkus, mengubur dan selamatan bahkan tahlilan. Hal itu berangkat dari rasa kekhawatiran kalau hewan itu diabaikan begitu saja maka akan membawa musibah pada diri sendiri dan kendaraan yang dipakai dan ini memang banyak terbukti.
PP. Al-Falah Kepang
      Pertanyaan :
a.     Adakah keterangan bahwa kucing mempunyai pengaruh yang dapat membawa keberuntungan atau kemadlaratan ?
      Jawaban :
Tidak ada
Referensi
1.       الفتاوى الفقهية الكبرى الجز الرابع ص 240
(وسئل) رحمه الله تبارك وتعالى بما صورته ذكر ابن العماد مسائل تتعلق بالهر فما حاصلها ؟
(فأجاب) نفعنا الله سبحانه وتعالى بعلومه وبركته بقوله الحاصل في ذلك أنه لا يجوز قتل الهر وإن أفسد على المنقول المعتمد بل يجب على دافعه أن يراعي الترتيب والتدريج في الدفع بالأسهل فالأسهل كما يراعيه دافع الصائل وقال القاضي حسين رحمه الله تبارك وتعالى يجوز قتله ابتداء إذا عرف بالإفساد قياسا على الفواسق الخمسة نعم يجوز قتله على الأول المعتمد في صورة وهي ما إذا أخذ شيئا وهرب وغلب على الظن أنه لا يدركه فله رميه بنحو سهم ليعوقه عن الهرب وإن أدى إلى قتله ومحله إن لم يكن أنثى حاملا وإلا لم يجز رميها مطلقا رعاية لحملها إذ هو محترم لم يقع منه جناية فلا يهدر بجناية غيره وأما تخريج البغوي لذلك في فتاويه على تترس المشتركين بالمسلمين فيجاب عنه بأن تلك حالة ضرورة يترتب عليها فساد عام فلا يقاس عليها ما نحن فيه لأن فساده خاص والأمور العامة يغتفر لأجلها ما لا يغتفر لأجل الأمور الخاصة قال العلماء ويستحب تربية الهر لقوله صلى الله عليه وسلم"إنها من الطوافين عليكم والطوافات"ويصح بيع الهر الأهلي والنهي عن ثمن الهر محمول على الوحشي ويجوز أكل الهر على وجه ضعيف ويستحب إكرامه ويجب على مالكه إطعامه إن لم يستغن بخشاش الأرض وسؤره طاهر فإن أكل نجاسة ففي وجه اختاره الغزالي أنه يعفى عنه والأصح المنع فعليه لو غاب واحتمل طهر فمه بشربه من ماء كثير أو قليل جاز أو مكدر بتراب إن أكل نجاسة مغلظة لم ينجس ما ولغ فيه لكن فمه باق على نجاسته عملا بالأصل فيه وفيما ولغ فيه لما قررته في شرحي الإرشاد والعباب ولو صاد نحو حمامة وجب تخليصه منه لحرمة روحه إذ يحرم قتله بغير الذبح ولو صاد هر مملوك بنفسه لم يدخل ما صاده في ملك صاحبه إلا بعد أن يأخذه منه فقبله يملكه من أخذه بخلاف قنه إذا احتطب أو احتش أو صاد لأن له قصدا صحيحا ويده كيد سيده فملك ما صاده مطلقا ولا يجوز للضيف أن يطعم الهر إلا أن أذن له المالك أو ظن رضاه أو كان الهر مضطرا ولا يجب عليه تنفيره لو أكل لأنه لم يلتزم الحفظ ولو وجد نحو لحمة مع هر لم يجز انتزاعها منه إن علم أن مالكها تبرع بها عليه أو لم يعلم واعتيد أن مثلها يرمى له وإلا كدجاجة ورغيف سن أخذه منه ويكون لقطة فيجب تعريفه وكذا الحكم في نحو الكلب وكل ما يطعمه الإنسان لهر أو حيوان آخر يثاب عليه للحديث الصحيح في ذلك وفسر الحسن البصري رحمه الله تبارك وتعالى المحروم في الآية بالكلب ويجوز حبس الهر وإطعامه ولا نظر لما في الحبس من العقوبة لأنها يسيرة محتملة وكذا الطائر وفي شرح التعجيز لابن يونس إن القفص للطائر كالإصطبل للدابة ودليل جواز حبسهما خبر البخاري وغيره"أن امرأة دخلت النار في هرة حبستها فلا هي أطعمتها ولا هي تركتها تأكل من خشاش الأرض"فأفهم أنها لو حبستها وأطعمتها جاز ولم يدخل النار بسببها وخبره أيضا أنه صلى الله عليه وسلم"كان إذا دخل دار خادمه أنس بن مالك رضي الله تبارك وتعالى عنه لزيارة أمه رضي الله تبارك وتعالى عنها يقول لولدها الصغير يا أبا عمير ما فعل النغير"يمازحه عن طير كان يلعب به ويحبسه عنده وفي الحديث الأول دليل على أن قتل الهر كبيرة للتوعد الشديد عليه نعم اختلفوا في إسلام تلك المرأة والذي رواه أبو نعيم والبيهقي عن عائشة رضي الله تبارك وتعالى عنها أنها كانت كافرة والخشاش مثلث الأول وهو ما يستتر من صغار الحيوان بالشقوق كالفأر
2.       سبل السلام الجزء الثاني  ص 333
(وعن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال عذبت امرأة) قال المصنف لم أقف على اسمها وفي رواية أنها حميرية وفي رواية من بني إسرائيل (في هرة) هي أنثى السنور والهر الذكر"سجنتها حتى ماتت فدخلت النار فيها لا هي أطعمتها وسقتها إذ هي حبستها ولا هي تركتها تأكل من خشاش الأرض"بفتح الخاء المعجمة ويجوز ضمها وكسرها وشينين معجمتين بينهما ألف والمراد هوام الأرض (متفق عليه) والحديث دليل على تحريم قتل الهرة لأنه لا عذاب إلا على فعل محرم ويحتمل أن المرأة كافرة فعذبت بكفرها وزيدت عذابا بسبب ذلك وقال النووي إنها كانت مسلمة وإنما دخلت النار بهذه المعصية وقال أبو نعيم في تاريخ أصبهان كانت كافرة ورواه البيهقي في البعث والنشور عن عائشة فاستحقت العذاب بكفرها وظلمها وقال الدميري في شرح المنهاج إن الأصح أن الهرة يجوز قتلها حال عدوها دون هذه الحال وجوز القاضي قتلها في حال سكونها إلحاقا لها بالخمس الفواسق وفي الحديث دليل على جواز اتخاذ الهرة وربطها إذا لم يهمل إطعامها قلت ويدل على أنه لا يجب إطعام الهرة بل الواجب تخليتها تبطش على نفسها

b.     Bagaimana tradisi di atas menurut pandangan syara' karena terdorong oleh rasa kekhawatiran tersebut ?
Jawaban
Tidak diperbolehkan
Referensi
1.        الفروق الجزء الثانى صـ: 259 عالم الكتب
(الفرق الثامن والستون والمائتان بين قاعدة التطير وقاعدة التطيرة وما يحرم منهما ولايحرم) وذلك ان التطير هو الظن الشيء الكائن قى القلب والطيرة هو الفعل المرتب على هذا الظن من قرار او غيره وان الأشياء التى يكون الخوف منها المرتب على سوء الظن الكائن فى القلب تنقسم اربعة اقسام (الأول) ما جرت العادة الثابتة باطراد بأنه مؤذن كالسموم والسباع والوباء والطاعون والجذام ومعادة الناس واتخم وأكل الأغذية الثقيلة المنفخة عند ضعفاء المعدة ونحو ذلك فالخوف فى هذا القسم من حيث أنه عن سبب محقق فى مجارى العادة لا يكون حراما فان عوائد الله اذا دلت على شيء وجب اعتقاده كما نعتقد ان الماء مرو والخبز مشبع والنار مخرقة وقطع الرأس مميت ومن لم يعتقد ذلك كان خارجا عن نمط العقلاء وما سببه إلا جريان العادة الربانية به باطراد (والقسم الثانى) ما كان جريانه العادة الربانية به فى حصول أمر أكثرى لا اطراديا ككون الموجودة مسهلة والآس قابضا إلى غير ذلك من الأدوية فالإعتقاد وكذا الفعل المرتب عليه فى هذا القسم وإن لم يكن مطردا ليس بحرام بل هو حسن متعين لا كثريته إذ الحكم للغالب -إلى أن قال- (والقسم الثالث) ما لم تجر عادة الله تعالى به أصلا فى حصول الضرر من حيث هو هو كشف الأغنام والعبور بينها يخاف لذلك أن لا تقضى حاجته ونحو هذا من هذيان العوام المتطيرين كشراء الصابون يوم السبت فالخوف فى هذا القسم من حيث أنه من غير سبب حرام لما جاء فى الحديث أنه عليه الصلاة والسلام كان يجب الفال الحسن ويكره الطير فالطيرة فيه محمول على هذا القسم لأنها من باب سوء الظن بالله تعالى فلا يكاد المتطير يسلم مما تطير منه إذا فعله جزاء له على سوء ظنه وأما غيره أنه لم يسئ ظنه بالله تعالى لايصيبه منه بأس -إلى أن قال- (والقسم الرابع) ما لم يتمحض به حصول ضرر لا بالعادة الاطرادية ولا الاكثرية ولا عدم حصوله أصلا بل استوى به الحصول وعدمه كالجرب -إلى أن قال- فالورع ترك الخوف من هذا القسم حذرا من الطيرة إهـ
2.       مشكاة المصابيح الجزء الخامس صحـ448
(ومنا رجال يتطيرون) التطير أخذ الفأل الشؤم من الطيرة بكسر الطاء وفتح الياء وقد تسكن قال في القاموس الطيرة والطيرة الطورة ما يتشاءم به من الفأل الردئ اهـ إلى أن قال- قال الجزري في النهاية الطيرة هي التشاءم بالشيء وهي مصدر تطير طيرة كما تقول تخير خيرة ولم يجئ من المصادر غيرهما وأصل التطير التفاؤل بالطير واستعمل لكل ما يتفاءل ويتشأم به وقد كانوا في الجاهلية يتطيرون بالصيد كالطير والظبي فيتيمنون بالسوانح ويتشأمون بالبوارح والبوارح على ما في القاموس من الصيد ما مر من ميامنك إلى مياسرك والسوانح ضدها وكان ذلك يصدهم عن مقاصدهم ويمنع السير إلى مطالبهم فنفاه الشرع وأبطله ونهاهم عنه (قال ذاك) أي التطير (شيء يجدونه في صدورهم) أي ليس له أصل يستند إليه ولا له برهان يعتمد عليه ولا هو في كتاب نازل من لديه وقيل معناه أنه معفو لأنه يوجد في النفس بلا اختيار نعم المشي على وقفه منهي عنه لذلك قال (فلا يصدنهم) أي لا يمنعهم عما هم فيه ولا يخفى أن التفريع على هذا المعنى يكون بعيداً قاله السندي قلت المعنى الثاني هو الذي ذكره عامة العلماء قال النووي قال العلماء معناه أن الطيرة شيء تجدونه في نفوسكم ضرورة ، ولا عتب عليكم في ذلك ؛ لأنه غير مكتسب لكم فلا تكليف به ، ولكن لا تمتنعوا بسببه من التصرف في أموركم ، فهو الذي تقدرون عليه وهو مكتسب لكم فيقع به التكليف. فنهاهم r عن العمل بالطيرة ولامتناع من تصرفاتهم
3.       طرح التثريب الجزء الثامن صحـ119-123
(الحديث الثاني) وعنه أن النبي r قال (الشوم في ثلاث الفرس والمرأة والدار) قال سفيان إنما نحفظه عن سالم يعني الشوم (فيه) فوائد –إلى أن قال-(الرابعة) حكى الماوردي عن بعض أهل العلم أنه قال نهى النبي r عن الفرار من بلد الطاعون وأباح الفرار من هذه الدار" فما الفرق ثم حكى عن بعض أهل العلم ما معناه أن الجامع لهذه الفصول ثلاثة أقسام (أحدها) ما لم يقع الضرر به ولا اطردت به عادة خاصة ولا عامة فهذا لا يلتفت إليه وأنكر الشرع الالتفات إليه وهو الطيرة (والثاني) ما يقع الضرر عنده عموما لا يخصه ونادرا لا متكررا كالوباء فلا يقدم عليه ولا يخرج منه (والثالث) ما يخص ولا يعم كالدار والمرأة والفرس فهذا يباح الفرار منه
4.       بريقة محمودية الجزء الأول صحـ269-270
(وصف رسول الله r المتوكلين بترك الكي والرقية والتطير وأقواها الكي) فإنه قريب إلى مجانسة الطب الذي هو من الظني فهو أقوى الأسباب الوهمية خلافا لمن وهم في أهمية الترك (ثم الرقية) ومن ثمة كانت جائزة في نفسها وورد بها آثار (والطيرة آخر درجاتها) ولهذا كان ممنوعا في الشرع –إلى أن قال-(وأما الدرجة المتوسطة وهي المظنونة كالمداواة بالأسباب الظاهرة عند الأطباء) كالأدوية والمعالجة (ففعله ليس مناقضا للتوكل بخلاف الموهوم) لظاهر الحديث السابق الظاهر أن الحكم إنما كان على الأعم والأغلب وإلا فقد يوجد المظنون فيما عد من الوهميات وقد يوجد الموهوم فيما عد من المظنونات على ما تشهد به التجربة (وتركه ليس محظورا) ممنوعا (بخلاف المقطوع به) فإن تركه حرام عند إفضائه إلى الموت والمكروه عند إضعافه (بل قد يكون أفضل من فعله في بعض الأحوال) أي حال خوف الاعتماد على غيره تعالى من الأسباب الظاهرة وحال التعمق كما سبق ويأتي أيضا (وفي حق بعض الأشخاص) لعل صاحب كمال التوكل من الخواص قيل لعدم إقبال طبعه عليه كما في أبي بكر رضي الله تعالى عنه قيل له ندعو لك طبيبا فقال قد رآني الطبيب كما في العمادي (فهو) أي المظنون (على درجة بين الدرجتين) الفعل , والترك , وقيل : الحل , والحرمة (انتهى) كلام فصول العمادي
5.       تحفة المريد صحـ 58
فمن اعتقد أن الأسباب العادية كالنار والسكين والأكل والشرب تؤثر فى مسبباتها الحرق والقطع والشبع والرى بطبعها وذاتها فهو كافر بالإجماع أو بقوة خلقها الله فيها ففى كفره قولان والأصح أنه ليس بكافر بل فاسق مبتدع ومثل القائلين بذلك المعتزلة القائلون بأن العبد يخلق أفعال نفسه الإختيارية بقدرة خلقها الله فيه فالأصح عدم كفرهم ومن اعتقد المؤثر هو الله لكن جعل بين الأسباب ومسبباتها تلازما عقليا بحيث لا يصح تخلفها فهو جاهل وربما جره ذلك إلى الكفر فإنه قد ينكر معجزات الأنبياء لكونها على خلاف العادة ومن اعتقد أن المؤثر هو الله وجعل بين الأسباب والمسببات تلازما عادي بحيث يصح تخلفها فهو المؤمن الناجى إن شاء الله إهـ