PERTENTANGAN HUKUM PESANTREN DAN HUKUM NEGARA
Islam mencakup seluruh
dimensi kehidupan manusia, islam juga
sebuah agama final dari tuhan yang tak ada sedikitpun terdapat kekurangan atau
penambahan. Namun bila hukum-hukum islam menjadi bias di hadapan hukum negara,
maka sesungguhnya pemeluk agama islam telah mengalami kemandekan berfikir dalam
mengambil ketetapan tuhan yang terhampar di dalam kitab suci Al Qur’an dan hadist Rasul yang mulia.
Dalam berbagai aspek,
hukum islam seperti di perkosa oleh hukum-hukum konstitusi yang dirumuskan
negara, hukum yang berdasarkan kekuatan berfikir manusia, hukum yang lebih
bersifat kondisional dan dinamis, serta hukum yang hanya sesaat saja di anggap
baik atau sesuai, hukum islam di buat
benar-benar tak berarti, karena hukum islam tak ubahnya sebuah wacana usang tak
berbobot yang harus diabaikan.
Hukum Islam juga
sering diinjak-injak oleh pemikiran orentalis barat, karena ketidakpercayaan
mereka akan sebuah kesucian wahyu atau kalam ilahi, di hadapan mereka kedudukan
akal lebih tinggi dari pada “sekedar” teks-teks mati mu’jizat nabi Muhammad SAW,
bila sebuah ketetapan mampu dicerna oleh akal atau dianggap rasional maka akan
di pakai, namun bila hukum islam dirasa tidak rasional sama sekali, maka harus
diganti dengan ketetapan yang lebih relevan dan dapat diterima oleh akal.
Sebagai santri yang
tiap hari bergelut dengan buku atau kitab tentang hukum islam, dalam pandangan
penulis, beberapa faktor yang melatar belakangi terjadinya jurang pemisah
antara hukum islam dengan hukum negara adalah minimnya pemahaman umat islam
sendiri atas hukum yang menjadi ketetapan agama, hukum yang dengan jelas telah dituangkan dalam Al Qur’an
atau Hadits Nabi Muhammad SAW atau pula hukum yang menjadi rumusan
sarjana-sarjana islam serta menjadi konsensus mayoritas ulama.
Di lain itu, meskipun
negara Indonesia mempunyai masyarakat yang mayoritas muslim, ternyata dari
wakil-wakil yang telah duduk di dewan Legislatif ataupun eksekutif, ternyata
belum mampu menuangkan prinsip-prisip hukum agama pada hukum negara, mereka
lebih suka mencontoh hukum dari negara lain dan non muslim, seperti Amerika,
Jepang, Australia dan negara-negara lain yang lebih maju. Dalam berbagai
kesempatan pun, mereka mengatakan bahwa “bila negara memakai hukum islam, maka
negara tidak akan maju dan berkembang seperti nasib-nasib negara islam di
seluruh dunia saat ini”, hukum islam dianggap hanya akan membawa kemunduran
masal sebuah negara. Hampir seluruh ruang hukum negara ini bertentangan dengan
hukum islam, hukum pernikahan, pidana, waris, hukum perdata, hukum bersifat
nasional ataupun internasional juga sering kali bertolak belakang dengan syari’at
islam. Sebab, hukum negara tidak
mengenal halal dan haram ataupun batal dan fasid, hukum negara lebih bersifat
“formalitas mengatur”, yaitu hukum yang lebih didasari semangat untuk mentertibkan dan mengatur kemajemukan seluruh
rakyat, baik beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghuchu semua
mempunyai peraturan sama. Namun hal ini berakibat tergerusnya prinsip islam
atas bebagai aspek, karena islam tidak hanya tata cara formalitas ibadah, islam
adalah sebuah agama yang mengatur seluruh dimensi kehidupan umatnya, mulai hal terkecil atau terbesar,
individu atau umum, nasional ataupun internasional telah di tetapkan, baik
melalui Al Qur’an ataupun Hadist dari nabi Muhammad. Hukum yang telah matang
dan terbukukan dengan sangat terperinci di lembaran lembaran kitab khazanah
islamiyah. Bertentangan dengan “sebagian” hukum islam, berarti bertentangan dengan
islam itu sendiri. Menggunakan sebagian hukum islam, bararti telah membuang
sebagian hukum lain yang di tetapkan oleh tuhan.
Di samping itu,
dalamnya jurang pemisah yang terjadi antara umat islam juga tak bisa di
abaikan, terutama corak pemikiran pesantren salaf yang menjadi bagian dari
kultur dan budaya indonesia dengan kalangan kampus yang mewakili islam modern,
terpisah karena tidak adanya komunikasi yang terjalin, seakan pemikiran
pesantren berada di kutub utara dan pemikiran kampus berada di kutub selatan.
Pesantren dengan segudang khazanah islamnya, menjadi golongan yang mengganggap
sebuah zaman harus tuduk pada hukum agama, syariat turun kedunia sebagai
pengatur dan pengendali zaman. Namun kalangan kampus menilai sebaliknya, agama
harus “melek” pada keadaan atau kondisi zaman, agama harus dinamis serta
berkembang sesuai tuntutan waktu.
Proyek besar
Untuk menyelesaikan problem di atas atas,
beberapa langkah revolusioner harus berani diambil dan dikembangkan,
terutamanya dari kalangan kader yang mewakili beberapa kalangan umat islam di
negeri ini, baik pemerintah, kaum akademis, masyarakat pesantren, ataupun masyarakat
umum. Sebuah gerakan yang sanggup menjembatani kesenjangan sudut pandang,
gerakan yang tidak mendiskriminasikan salah satu kelompok, gerakan yang
bertujuan menancapkan syari’at islam sebagai solusi setiap permasalahan yang
terjadi. Pondok pesantren dengan kemurnian keilmuan mereka, pemerintah dengan
semangat keadilan sosial bagi seluruh rakyat, akademis dengan kekayaan wacana
dan inovasi pemikiran modern, serta masyarakat sebagai pihak yang paling tahu
sebuah keadaan zaman.
Sebab, setiap pemeluk
agama pasti ingin melaksanakan agama mereka sebaik mungkin, namun keadaan,
kemampuan, dan pengetahuannyalah yang membedakan. Maka bila hal ini telah
menemukan solusi terbaik dan diterima segenap golongan, kekuatan dan keindahan
islam yang rohmaatan lil ‘alamini akan muncul kepermukaan, akan menjadi
kekuatan politik, sosial, ataupun pemikiran yang spektakuler.
Lahirnya masa keemasan Islam bukanlah isapan jempol belaka, bukan sebuah dongeng indah sebelum tidur,
masa keemasan islam hanya menunggu waktu dan langkah tepat untuk menyatukan seluruh
kekuatan islam yang di miliki penduduk negeri ini, saat seluruh golongan tidak
lagi mementingkan kelompok masing-masing, namun berjuang dalam ranah i’la
kalitullah, berjuang untuk mendapatkan ruang agama lebih luas di banding saat
ini.
Dalam dari pada itu,
penekanan ego masing-masing kelompok harus menjadi agenda wajib, ego yang
sekian lama mengikis persatuan ummat islam, terutama warga pesantren dan
kalangan akademis. Karena prinsip dua golongan inilah yang paling dikikis, yaitu
prisip membabi buta dalam melihat sebuah agama. Dalam prisip pesantren, khazanah
islamiyah yang telah terbukukan dalam kitab-kitab salaf akan senantiasa relevan
dan solusi terbaik, “apapun permasalahannya, kitab kuning jawabannya” adalah
keputusan mati masyarakat pesantren.
Dalam melihat dan mendiskripsikan sebuah
permasalahan, hal pertama yang di lakukan kalangan pesantren adalah membuka
lembaran kitab kuning, politik, sosial, perbankan, medis, bahkan militerpun,
mereka akan sangat kosisten dengan teks yang tertuang dalam kitab kuning. Hal
inilah yang menjadikan pesantren sebagai sebuah lembaga “kuno”, konservatif,
kaku, dan tertutup, begitu pula hukum-hukum yang dicetuskan sering kali malah
bersebrangan dengan keadaan masyarakat, tidak responsif dan sempit. Bahkan,
beberapa hasil rumusan pesantren menjadi bahan tertawaan kalangan masyarakat,
seperti cetusan hukum tentang facebook, internet, rebonding.
Sementara itu, kalangan akademis dengan semangat
perubahan yang mereka anut, lebih sering menyalahkan kaum pesantren, dalam
pemikiran atau wacana pun lebih sering bertentangan dengan pesantren. Kaum
akademis “yang seharusnya” menjadi pengembang pemikiran salaf malah cenderung menganggap rendah lautan pemikiran yang
tertata secara rapi dan terperinci dalam kitab kuning. Kaum akademis seakan
“malu” bila pemikirannya di dasari kitab-kitab yang masih salaf, di samping
itu, oleh kaum pesantren kaum akademis di nilai “brutal” dalam mencetuskan
beberapa hukum agama, karena banyaknya nas syariat yang diabaikan dan ditinggalkan.
Bila dua kelompok pemikiran militan ini tidak bisa
menekan ideologi masing-masing, jurang pemisah di antara keduanya akan semakin
lebar dan dalam, terutama yang terjadi di kalangan bawah. Pertentangan dan
saling menganggap salah pada kelompok lain akan semakin menjadi.
Ahirnya, bila dua saudara ini mau berkolaborasi
(karena dari satu rahim yaitu islam) mau berkolaborasi dan saling melengkapi,
masa keemasan yang di harapkan setiap umat islam akan muncul. Saat hukum islam
menjadi lebih berkualitas dan murni, saat hukum Islam bermetamorfosis namun
tidak kehilangan pondasinya.
Penutup
Islam
adalah agama persatuan, agama yang mampu menjalin ikatan dengan agama apapun,
seperti yang tertuang dalam piagam madinah putusan nabi Muhammad untuk
menyatukan seluruh penduduk dalam satu tujuan dan harapan. Islam juga agama
yang mengajarkan dialog mufakat, dialog untuk menemukan solusi terbaik dalam
menyikapi sebuah permasalahan. Maka,
bila seluruh elemen yang mewakili pemikiran islam mau menyatu dan
berkolaborasi, memahami dan menghargai
pemikiran golongan lain, pasti problem utama kelompok yang memakai prinsip
islam saat ini akan teratasi. Problem perpecahan yang berlarut-larut dan
melemahkan eksistensi ummat islam sendiri.
(
AHMAD MUJIB ZEN, )
Aktifis
LBM, banyuwangi, o7-o7-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar