Senin, 22 April 2013


PERTENTANGAN HUKUM PESANTREN DENGAN NEGARA

                Islam mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia,  islam juga sebuah agama final dari tuhan yang tak ada sedikitpun terdapat kekurangan atau penambahan. Namun bila hukum-hukum islam menjadi bias di hadapan hukum negara, maka sesungguhnya pemeluk agama islam telah mengalami kemandekan berfikir dalam mengambil ketetapan tuhan yang terhampar di dalam kitab suci Al- Qur’an hadist rasul yang mulia.
                Dalam berbagai aspek, hukum islam seperti di perkosa oleh hukum-hukum konstitusi yang di rumuskan negara, hukum yang berdasarkan kekuatan berfikir manusia, hukum yang lebih bersifat kondisional dan dinamis, serta  hukum yang hanya sesaat saja di anggap baik atau  sesuai, hukum islam di buat benar-benar tak berarti, karna hukum islam tak ubahnya sebuah wacana usang tak berbobot yang harus di abaikan.

                Hukum islam juga sering di injak-injak oleh pemikiran orentalis barat, karna ketidak percayaan mereka akan sebuah kesucian wahyu atau kalam ilahi, di hadapan mereka kedudukan aqal lebih tinggi dari pada “sekedar” teks-teks mati mu’jizat nabi muhammad SAW, bila sebuah ketetapan mampu di cerna oleh aqal atau di anggap rasional maka akan di pakai, namun bila hukum islam di rasa tidak rasional sama sekali, maka harus di ganti dengan ketetapan yang lebih relefan dan dapat di terima oleh akal.

                Sebagai santri yang tiap hari bergelut dengan buku atau kitab tentang hukum islam, dalam pandangan penulis, beberapa faktor yang melatar belakangi terjadinya jurang pemisah antara hukum islam dengan hukum negara adalah minimnya pemahaman umat islam sendiri atas hukum yang menjadi ketetapan agama, hukum yang  dengan jelas telah di tuangkan dalam Al- Qur’an atau hadist Nabi Muhammad SAW atau pula hukum yang menjadi rumusan sarjana-sarjana islam serta menjadi konsesus mayoritas para ulama.

                Di lain itu, meskipun negara indonesia mempunyai masyarakat yang mayoritas muslim, ternyata dari wakil-wakil yang telah duduk di dewan Legislatif ataupun eksekutif, ternyata belum mampu menuangkan prinsip-prisip hukum agama pada hukum negara, mereka lebih suka mencontoh hukum dari negara lain dan non muslim, seperti Amirika, Jepang, Australi dan negara-negara lain yang lebih maju. Dalam berbagai kesempatan pun, mereka mengatakan bahwa “bila negara memakai hukum islam, maka negara tidak akan maju dan berkembang seperti nasib-nasib negara islam di seluruh dunia saat ini”, hukum islam di anggap hanya akan membawa kemunduran masal sebuah negara. Hampir seluruh ruang hukum negara ini bertentangan dengan hukum islam, hukum pernikahan, pidana, waris, hukum pertadata, hukum bersifat nasional ataupun internasionalnya sering kali bertolak belakang dengan syari’at islam. Sebab,  hukum negara tidak mengenal halal dan haram ataupun batal dan fasid, hukum negara lebih bersifat “formalitas mengatur”, yaitu hukum yang lebih di dasari semangat untuk  mentertibkan dan mengatur kemajemukan seluruh rakyat, baik beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghuchu semua mempunyai peraturan sama. Namun hal ini berakibat tergerusnya prinsip islam atas bebagai aspek, karna islam tidak hanya tatacara formalitas ibadah, islam adalah sebuah agama yang mengatur seluruh dimensikehidupan  umatnya, mulai hal terkecil atau terbesar, indifidu atau umum, nasional ataupun internasional telah di tetapkan, baik melalui Al Qur’an ataupun hadist dari nabi Muhammad, hukum yang telah matang dan terbukukan dengan sangat terperinci di lembaran lembaran kitab khazanah islamiyah. Bertentangan dengan “sebagian” hukum islam, berarti bertentangan dengan islam itu sendiri. Menggunanakan sebagian hukum islam, bararti telah membuang sebagian hukum lain yang di tetapkan oleh tuhan.

                Di samping itu, dalamnya jurang pemisah yang terjadi antara umat islam juga tak bisa di abaikan, terutama corak pemikiran pesantren salaf yang menjadi bagian dari kultur dan budaya indonesia dengan kalangan kampus yang mewakili islam modern, terpisah karna tidak adanya komunikasi yang terjalin, seakan pemikiran pesantren berada di kutub utara dan pemikiran kampus berada di kutub selatan. Pesantren dengan segudang khazanah islamnya, menjadi golongan yang mengganggap sebuah zaman harus tuduk pada hukam agama, syariat turun kedunia sebagai pengatur dan pengendali zaman, Namun kalangan kampus menilai sebaliknya, agama harus “melek” pada keadaan atau kondisi zaman, agama harus dinamis serta berkembang sesuai tuntutan waktu.

Proyek besar

                Untuk menyelesaikan problem di atas atas, beberapa langkah revolosioner harus berani di ambil dan di kembangkan, terutamanya dari kalangan kader yang mewakili beberapa kalangan umat islam di negri ini, baik pemerintah, kaum akademis, masyarakat pesantren, ataupun masyarakat umum. Sebuah gerakan yang sanggup menjebatani kesenjangan sudut pandang, gerakan yang tidak mendiskriminasikan salah satu kelompok, gerakan yang bertujuan menancapkan syari’at islam sebagai solusi setiap permasalahan yang terjadi. Pondok pesantren dengan kemurnian keilmuan mereka, pemerintah dengan semangat keadilan sosial bagi seluruh rakyat, akademis dengan kekayaan wacana dan inovasi pemikiran modern, serta masyarakat sebagai pihak yang paling tahu sebuah keadaan zaman.

                Sebab, setiap pemeluk agama pasti ingin melaksanakan agama mereka sebaik munkin, namun keadaan, kemampuan, dan pengetahuanyalah yang membedakan. Maka bila hal ini telah menemukan solusi terbaik dan di terima segenap golongan, kekuatan dan keindahan islam yang rohmaatan lil ‘alamini akan muncul kepermukaan, akan menjadi kekuatan politik, sosial, ataupun pemikiran yang sepektakuler.

                Lahirnya masa keemasan islam bukanlah isapan jempol belaka, bukan sebuah dongeng indah sebelum tidur, masa keemasan islam hanya menunggu waktu dan langkah tepat untuk menyatukan seluruh kekuatan islam yang di miliki penduduk negri ini, saat seluruh golongan tidak lagi mementingkan kelompok masing-masing, namun berjuang dalam ranah i’la kalitullah, berjuang untuk mendapatkan ruang agama lebih luas di banding saat ini.

                Dalam dari pada itu, penekanan ego masing-masing kelompok harus menjadi agenda wajib, ego yang sekian lama mengikis persatuan ummat islam, terutama warga pesantren dan kalangan akademis. Karna prisip dua golongan inilah yang paling di kikis, yaitu prisip membabi buta dalam melihat sebuah agama. Dalam prisip pesantren, hazanah islamiyah yang telah terbukukan dalam kitab-kitab salaf akan senantiasa relefan dan solusi terbaik, “apapun permasalahanya, kitab kuning jawabanya” adalah keputusan mati masyarakat pesantren.

Dalam melihat dan mendiskripsikan sebuah permasalahan, hal pertama yang di lakukan kalangan pesantren adalah membuka lembaran kitab kuning, politik, sosial, perbankan, medis, bahkan militerpun, mereka akan sangat kosisten dengan teks yang teertuang dalam kitab kuning. Hal inilah yang menjadikan pesantren sebagai sebuah lembaga “kuno”, konservatif, kaku, dan tertutup, begitu pula hukum-hukum yang di cetuskan sering kali malah bersebrangan dengan keadaan masyarakat, tidak responsif dan sempit. Bahkan, beberapa hasil rumusan pesantren menjadi bahan tertawaan kalangan masyarakat, seperti cetusan hukum tentang face book, internet, rebonding.

Sementara itu, kalangan akademis dengan semangat perubahan yang mereka anut, lebih sering menyalahkan kaum pesantren, dalam pemikiran atau wacana pun lebih sering bertentangan dengan pesantren. Kaum akademis “yang seharusnya” menjadi pengembang pemikiran salaf malah cenderung  menganggap rendah lautan pemikiran yang tertata secara rapi dan terperinci dalam kitab kuning. Kaum akademis seakan “malu” bila pemikirannya di dasari kitab-kitab yang masih salaf, di samping itu, oleh kaum pesantren kaum akademis di nilai “brutal” dalam mencetuskan beberapa hukum agama, karna banyaknya nas syariat yang di abaikan dan di tinggalkan.

Bila dua kelompok pemikiran militan ini tidak bisa menekan ideologi masing-masing, jurang pemisah di antara keduanya akan semakin lebar dan dalam, terutama yang terjadi di kalangan bawah. Pertentangan dan saling menganggap salah pada kelompok lain akan semakin menjadi.

Ahirnya, bila dua saudara ini mau berkolaborasi (karna dari satu rahim yaitu islam) mau berkolaborasi dan saling melenkapi, masa keemasan yang di harapkan setiap umat islam akan muncul. Saat hukum islam menjadi lebih berkwalitas dan murni, saat hukum islam bermetamorfosis namun tidak kehilangan pondasinya.

Penutup

 Islam adalah agama persatuan, agama yang mampu menjalin ikatan dengan agama apapun, seperti yang tertuang dalam piagam madinah putusan nabi Muhammad untuk menyatukan seluruh penduduk dalam satu tujuan dan harapan. Islam juga agama yang mengajarkan dialog mufakat, dialog untuk menemukan solusi terbaik dalam menyikapi sebuah permasalahan.  Maka, bila seluruh elemen yang mewakili pemikiran islam mau menyatu dan berkolaborasi, memahami  dan menghargai pemikiran golongan lain, pasti problem utama kelompok yang memakai prinsip islam saat ini akan teratasi. Problem perpecahan yang berlarut-larut dan melemahkan eksistensi ummat islam sendiri.

               
                                                                                                                ( AHMAD MUJIB ZEN, )
                                                                                                Aktifis LBM, banyuwangi, o7-o7-2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar