Sabtu, 16 Maret 2013

FIQIH WANITA


PROBLEMATIKA KEWANITAAN


HAIDL

DALIL TENTANG HAIDL


Haidl adalah kodrat wanita yang tidak bisa dihindari dan sangat erat kaitannya dengan aktivitas ibadahnya sehari-hari. Sebagaimana firman Allah I dalam surat al-Baqarah ayat 222:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidl. Katakanlah: haidl itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidl dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Seseungguhnya Allah mencintai orang-orang yang taubat dan orang-orang yang mensucikan diri.(QS. Al-baqarah; 222)

Dan hadits Nabi r:
هَذَا شَيْئٌ كَتَبَهُ اللهِ عَلَى بَنَاتِ أَدَمَ
Artinya:Haidl ini merupakan sesuatu yang telah ditakdirkan Allah kepada cucu-cucu wanita Adam. (H.R. Bukhari dan Muslim)

Pada masa jahiliyah haidl dianggap sesuatu yang menjijikkan yang dipikul oleh kaum wanita. Pada masa itu, orang yahudi tidak memperlakukan secara manusiawi terhadap istrinya yang sedang haidl, mereka mengusirnya dari rumah, tidak mau mengajak tidur, dan makan bersama. Sementara orang nasrani mempunyai kebiasaan menggauli istrinya di kala haidl.[1] Hal ini mendorong para sahabat untuk menanyakan tentang hukum-hukum haidl, sehingga turunlah ayat di atas. Dari sinilah kemudian para ulama merumuskan hukum-hukum yang terkait dengan permasalahan haidl.

 

Hukum mempelajari haidl

a.    Fardlu Ain bagi wanita yang baligh
Artinya wajib bagi setiap wanita yang sudah baligh untuk belajar dan mengerti permasalahan yang berhubungan dengan haidl, nifas, dan istihadloh. Sebab mempelajari hal-hal yang menjadi syarat keabsahan suatu ibadah adalah fardlu ain.

b.   Fardlu Kifayah bagi laki-laki
Mengingat permasalahan haidl tidak bersentuhan langsung dengan rutinitas ibadah kaum laki-laki, maka hukum mempelajarinya adalah fardlu kifayah. Sebab mempelajari ilmu yang tidak bersentuhan langsung dengan amaliyah ibadah yang dilakukan hukumnya adalah fardlu kifayah. Hal ini untuk menegakkan ajaran agama dan untuk keperluan ifta’ (fatwa).[2]

 

Pengertian Haidl

Haidl atau biasa disebut menstruasi secara harfiyah (lughat) mempunyai arti mengalir. Sedangkan menurut arti syar’i adalah darah yang keluar melalui alat kelamin wanita yang sudah mencapai usia minimal 9 tahun kurang 16 hari tidak genap (usia 8 tahun 11 bulan 14 hari lebih sedikit) dan keluar secara alami (tabi’at perempuan) tidak disebabkan melahirkan atau sakit. Dengan demikian darah yang keluar sebelum usia mungkin haidl, yaitu ketika wanita masih berumur 9 tahun kurang 17, 18, 19, 20 hari dan seterusnya atau disebabkan penyakit ataupun disebabkan melahirkan maka tidak dinamakan darah haidl.[3] yang digunakan menghitung usia haidl adalah penanggalan hijriyah, bukan penanggalan masehi. Maka, dalam mencatat tanggal kelahiran bayi, disamping mencatat penanggalan masehinya, sangat dianjurkan mencatat tanggal hijriyyahnya.
Pada umumnya wanita selalu mengalami haidl tiap bulan secara rutin sampai masa menopause (usia tidak keluar haidl). Namun tidak menutup kemungkinan terjadi haidl pada usia senja, sebab tidak ada masa maksimal wanita mengalami haidl.[4]

 

Batas Usia Wanita Mengalami Haidl.

Awal usia seorang wanita yang mengeluarkan darah haidl adalah usia 9 tahun kurang 16 hari tidak genap (8 tahun 11 bulan 14 hari lebih sedikit). Sedangkan darah yang keluar dari wanita yang berumur 9 tahun kurang 17, 18, 19 hari dan seterusnya bukan darah haidl, tapi darah istihadloh. Namun, jika sebagian keluar sebelum usia haidl dan sebagian keluar saat sudah mencapai usia wanita haidl, maka hukumnya tafsil:
1.   Darah yang keluar saat belum mencapai usia wanita haidl hukumnya adalah darah istihadloh.
2.   Darah yang keluar saat sudah mencapai usia wanita haidl hukumnya adalah darah haidl jika keluarnya mencapai 24 jam.
Contoh: seorang wanita umur 9 tahun kurang 20 hari mengeluarkan darah selama 10 hari ,maka darah 4 hari awal lebih sedikit hukumnya darah istihadloh sebab keluarnya darah saat belum mencapai usia wanita haidl, sedangkan darah 6 hari akhir kurang sedikit di sebut darah haidl, karena keluar saat sudah mencapai usia wanita haidl.
Usia monopause (usia yang sudah tidak mengalami haidl) umumnya adalah 62 tahun. Namun, ulama menjelaskan bahwa usia berapapun bila wanita mengeluarkan darah yang telah memenuhi syarat-syarat haidl, maka dihukumi haidl, dan wanita lanjut usiapun masih mungkin mengalami haidl[5].

 

Ketentuan Darah Haidl

Darah yang dikeluarkan oleh seorang wanita yang telah mencapai usia haidl dapat diklasifikasikan dalam 2 (dua) kelompok, yaitu normal (haidl) dan tidak normal (istihadloh).
       1.       Normal (haidl) bila darah yang dikeluarkan wanita telah mencapai 24 jam (batas minimal haidl) dan tidak melebihi 15 hari (batas maksimal haidl).[6]
Maka apapun warna dan sifat darah (kuat atau lemah) asalkan tidak melewati 15 hari 15 malam, maka semua dihukumi haidl.
Istilah darah kuat dan lemah diperhitungkan bagi wanita yang mengalami istihadloh (keluar darah lebih dari 15 hari 15 malam) dan tidak berlaku untuk orang yang haidl secara normal. Dengan demikian, meskipun warna dan sifat darah berubah-ubah, jika masih dalam waktu 15 hari, maka semua dihukumi haidl. 
Contoh:  3 hari keluar darah hitam; 2 hari keluar darah kuning; 5 hari keluar darah merah; maka haidlnya adalah 10 hari.

Cara Bersuci [7]
Jika sewaktu-waktu darah berhenti (naqa’), maka: jika jumlah darah yang keluar sebelum berhenti tidak mencapai 24 jam, maka ketika akan sholat ia cukup mencuci farjinya dan wudlu’ saja (tidak wajib mandi). Dan bila darah yang keluar sudah mencapai 24 jam, maka sewaktu-waktu darah berhenti ia wajib mandi ketika akan melakukan sholat. Jika setelah itu  darah keluar lagi, maka diharamkan baginya shalat dan hal-hal lain yang diharamkan bagi wanita haidl. Sedangkan mandi dan sholat yang dilakukan sebelumnya dihukumi tidak sah, disebabkan mandi serta sholatnya ternyata dilakukan pada waktu haidl. Apabila darah berhenti lagi maka diwajibkan melakukan mandi dan sholat serta kewajiban yang lainnya, begitu seterusnya sampai genap 15 hari.
Catatan:
@ Paling sedikit masa haidl (aqall al-haidl) adalah sehari semalam (24 jam);
@ Paling lamanya masa haidl (aktsar al-haidl) adalah 15 hari 15 malam;
@ Pada umunya setiap bulan wanita mengeluarkan haidl selama 6 atau 7 hari,  sehingga masa sucinya 23 atau 24 hari. Namun, ada juga wanita yang haidl kurang atau lebih dari masa tersebut. Adapula yang mengalami haidl tiap 5 bulan atau satu tahun sekali. Bahkan ada yang selama hidupnya tidak pernah mengalami haidl seperti yang dialami Sayyidah Fathimah al-Zahra binti Rasulillah r[8].
     Paling sedikit jarak masa yang memisah antara haidl yang satu dengan haidl sebelumnya (aqall al-thuhri) adalah 15 hari 15 malam. Sehingga tidak menutup kemungkinan dalam satu bulan wanita mengalami haidl dua kali.
Contoh:  keluar darah 2 hari (tanggal 1 dan 2); berhenti selama 16 hari; keluar darah lagi selama 3 hari (tanggal 19, 20 dan 21). Maka, 2 hari awal dihukumi haidl dan 3 hari yang akhir saat keluar darah juga dihukumi haidl, sebab keluarnya setelah melewati masa suci 15 hari. sedangkan 16 waktu berhenti darah dihukumi masa suci yang memisah dua haidl.
Jika masa pemisah kurang dari 15 hari, maka diperinci:
a.    Bila darah pertama dan kedua masih dalam waktu 15 hari, maka semuanya dihukumi haidl termasuk masa berhenti diantara dua darah tersebut[9].
Contoh: keluar darah selama 3 hari, berhenti selama 3 hari, keluar lagi selama 5 hari, maka haidlnya adalah 11 hari.
b.   Bila darah kedua di luar masa 15 hari dari permulaan darah pertama (darah pertama ditambah pemisah tidak kurang dari 15 hari), sementara jumlah masa pemisah ditambah darah kedua tidak lebih 15 hari, maka: darah kedua dihukumi darah kotor/fasad[10].
Contoh: keluar darah pertama 6 hari, berhenti selama 9 hari, keluar darah kedua 2 hari, maka, 6 hari awal dihukumi haidl, berhenti 9 hari dihukumi masa suci dan 2 hari akhir dihukumi darah kotor atau fasad yang dihukumi sebagai masa suci.[11]
c.    Bila jumlah masa suci pemisah ditambah darah kedua melebihi 15 hari, maka sebagian darah kedua dihukumi darah fasad (untuk meneyempurnakan masa suci 15 hari) dan sisanya dihukumi darah haidl yang kedua bila memenuhi syarat-syarat haidl[12].
Contoh 01): keluar darah pertama 3 hari, berhenti 12 hari, keluar darah kedua 6 hari. Maka, 3 hari awal adalah haidl. 12  berhenti adalah masa suci. 3 hari darah kedua (peneyempurna suci 15 hari) adalah darah kotor dan dihukumi masa suci. Sedangkan 3 hari akhir adalah haidl yang kedua.
Contoh 02): keluar darah pertama 10 hari; berhenti 10 hari; keluar darah kedua 10 hari; maka, 10 hari awal adalah haidl. 10 hari ketika berhenti ditambah 5 hari darah kedua (penyempurna 15 hari) dihukumi masa suci. 5 hari akhir adalah haidl yang kedua.  
Penentuan hukum ini apabila masa keluar darah kedua setelah dikurangi untuk menyempurnakan 15 hari (masa minimal suci) sisanya tidak lebih dari 15 hari. Dan jika melebihi 15 hari, maka wanita tersebut dihukumi mustahadloh.
Contoh: keluar darah pertama 10 hari; berhenti 10  hari; keluar darah kedua 25 hari; maka, 10 hari pertama adalah haidl. 10 hari berhenti ditambah 5 hari darah kedua adalah masa suci.  Sedangkan 1 hari setelah itu dihukumi haidl yang kedua dan sisanya dihukumi istihadloh.
Hal ini, jika ia seorang wanita yang pertama kali mengeluarkan darah haidl dan ia tidak bisa membedakan kuat dan lemahnya darah (mustahadloh mubtadi’ah ghayru mumayyizah). Jika ia sudah pernah haidl (mu’tadah ghayru mumayyizah), maka haidl dan sucinya disamakan dengan kebiasaannya (pengadatannya). Misal, kebiasaan haidlnya 5 hari, maka untuk contoh diatas, yang 10 hari pertama adalah haidl. 10 hari berhenti ditambah 5 hari darah kedua adalah masa suci. Sedang 5 hari setelah itu adalah haidl kedua (mengikuti kebiasaannya). Dan sisanya dihukumi istihadloh.[13]
       2.       Tidak Normal (Istihadloh)
Apabila darah yang dikeluarkan wanita melebihi 15 hari (maksimal haidl). Maka untuk hukumnya ditafsil sesuai kuat dan lemahnya darah, adat, daya ingat masa haidl yang telah lewat.
Wanita yang mengalami istihadloh ini di bagi menjadi 7 (tujuh) kelompok:
1.   Mubtadi’ah mumayyizah
2.   Mubtadi’ah ghoiru mumayyizah
3.   Mu’tadah mumayyizah
4.   Mu’tadah ghoiru mumayyizah dzakiroh li ‘adatiha qadran wa waqtan
5.   Mu’tadah ghoiru mumayyizah nasiyah li ‘adatiha qadran wa waqtan
6.   Mu’tadah ghoiru mumayyizah dzakiroh li ‘adatiha qadran la waqtan
7.   Mu’tadah ghoiru mumayyizah dzakiroh li ‘adatiha waqtan la qadran
Nb: keterangan selebihmya tentang istihadloh dapat anda baca dalam buku “uyunul masa-il linnisa” terbitan Pon-Pes Lirboyo.

Apakah getah Vagina termasuk darah haidl ?
Dalam kitab-kitab fiqh dijelaskan bahwa, haidl adalah daerah yang keluar dari urat (otot) yang pintunya terdapat pada penghujung uterus (pangkal rahim/aqso al-rohmi) yang punya warna, sifat dan masa yang khusus. Sedangkan istihadloh adalah darah yang keluar dari urat di bawah uterus (adna al-rohmi) di luar masa haidl.[14] 
Dengan demikian getah vagina dan keputihan, bukanlah darah haidl dan istihadloh. Karena keluar dari luar anggota tersebut. Yang dalam istilah fiqih dikatagorikan Ruthubatul Farji  (cairan farji), dan hukumnya sebagaimana berikut :[15]
1.     Bila keluar dari balik liang farji (anggota farji bagian dalam yang tidak terjangkau penis saat bersenggama), maka hukumnya najis dan menyebabkan batalnya wudlu, sebab keluar dari dalam tubuh.
2.     Bila keluar dari liang farji (anggota farji yang tidak wajib dibasuh ketika istinja’ dan masih terjangkau penis saat bersenggama), maka hukumnya suci menurut sebagian ulama’.
3.     Bila keluar dari liang farji (anggota farji yang tampak ketika jongkok), maka hukumnya suci.
Dengan demikian, karena keputihan dan cairan yang keluar dari farji bukan darah haidl, maka tidak mewajibkan mandi. Namun bila cairan tersebut dihukumi najis (keluar dari dalam tubuh), maka harus disucikan saat hendak melaksanakan wudlu dan sholat. Dan jika terus menerus keluar, maka hukumnya seperti istihadloh dan tata cara bersuci serta ibadahnya akan dijelaskan dalam fasal berikut ini. [16] 

Hal-Hal Yang Harus Dilakukan Wanita Saat Datang dan Berhentinya Haidl


Saat darah keluar, seorang wanita wajib menghindari hal-hal yang diharamkan sebab haidl meskipun darah yang keluar belum mencapai 24 jam. Bila darah yang keluar telah berhenti, maka: jika darah yang keluar belum mencapai 24 jam (batas minimal haidl), maka ia cukup membersihkan farjinya dan berwudlu’ bila ingin melakukan ibadah (tidak wajib mandi). Jika darah yang keluar sudah mencapai 24 jam maka sewaktu-waktu darah berhenti ia wajib mandi dan melakukan rutinitas ibadah. Bila kemudian darah keluar lagi, maka ia diwajibkan kembali menghindari hal-hal yang diharamkan bagi wanita haidl. Jika darah berhenti lagi ia wajib mandi lagi, demikian seterusnya selama masih dalam masa 15 hari[17]. Ibadah yang dilakukan pada waktu terputus-putusnya darah tidak dihukumi sah, dikarenakan ternyata dilakukan pada waktu yang dihukumi haidl, dan ibadah yang dilakukan hanya untuk hati-hati saja.
Kemudian darah dihukumi berhenti, bila seandainya diusap dengan cara memasukkan semisal kapuk sudah tidak ada cairan yang seesuai dngan sifat dan warna darah (hanya berupa cairan bening)[18]. Namun, bila masih ada cairan yang berwarna keruh dan kuning, terjadi perbedaan diantara ulama, ada yang mengatakan masih di hukumi darah haidl (qaul yang kuat) karena menganggap masih berwarna darah, disamping memandang hukum asal, bahwa cairan itu keluar pada masa imkanul haidl (waktu mungkin uantuk mengalami haidl). Ada yang berpendapat bukan darah haidl, karena menganggap cairan itu tidak berwarna darah[19].

Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Oleh Wanita Saat Mengalami Haidl

a)   Sunah untuk tidak memotong kuku, rambut, dan lain-lain dari anggota badan saat haidl, karena ada keterangan kelak di akhirat anggota badan yang belum disucikan akan kembali ke pemiliknya masih dalam keadaan jinabat (belum disucikan). Akan tetapi bila terlanjur dipotong, maka yang wajib dibasuh adalah tempat (bekas) anggota yang dipotong, bukan potongan dari anggota itu[20]. Tetapi sebaiknya tetap ikut dimandikan supaya tidak mendapat ancaman diatas.
b)  Saat darah berhenti, wanita diperbolehkan mulai niat melaksanakan puasa sekalipun belum mandi. Karena haramnya puasa itu, disebabkan haidl bukan hadats. Berbeda dengan sholat, sebab penghalangnya adalah hadats. Juga berbeda dengan bersetubuh, sebab ada nash hadits yang secara jelas melarang menggauli istri sebelum bersuci[21]. Hukum puasa wanita yang haidlnya telah berhenti dan belum mandi besar adalah sah. Akan tetapi disunahkan baginya untuk mandi besar sebelum fajar supaya dapat melakukan puasa dalam keadaan suci.
c)   Bagi wanita yang darah haidlnya berhenti dan belum sempat mandi jika ingin tidur, makan, atau minum disunnahkan membersihkan farjinya kemudian wudlu’. Dan bila meninggalkan hal ini, hukumnya makruh[22].
d)  Biasanya, menjelang atau di saat haidl, wanita mengalami gangguan kesehatan. Di antaranya (berdasarkan hasil polling):
1.   payudara mengencang dan teras sakit;
2.   pegal-pegal, lemah dan lesu;
3.   perut terasa sakit/mulas;
4.   mudah emosi.
Hal-hal tersebut tidak perlu ditanggapi secara berlebihan. Sebab itu hanyalah dampak dari keluarnya darah secara wajar. Biasanya akan hilang di saat berhentinya darah haidl, bahkan terkadang hal itu hanya berlangsung sebentar.

Hukum yang berkaitan dengan haidl


Bagi wanita yang mengalami haidl, maka ada beberapa hal yang diharamkan, yaitu:
1.   Sholat (wajib maupun sunnah)
Sabda Rasulullah r:
إِذَا  أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ  فَدَعِي الصَّلاَةَ
Artinya:Jika kamu (wanita) menghadapi (mengalami) haidl, maka tinggalkanlah Sholat.” (H.R.Bukhari)
Sholat yang ditinggalakan selama masa haidl tidak wajib diqodlo’. Sebab tidak ada perintah qodlo’ dari syara’, disamping hal itu dianggap akan menimbulkan kesulitan (masyaqqah), mengingat kewajiban sholat sehari semalam lima kali. Bagi kaum wanita tidak usah khawatir akan hilangnya pahala dengan larangan sholat baginya, sebab jika dalam meninggalkan sholat karena haidl diniati tunduk dan mengikuti perintah Allah I ia akan tetap mendapat pahala[23]. Apabila bersikeras mengqodloi sholat, maka menurut imam Al Baidlowi hukumnya haram, serta makruh manurut ‘ulama lain, dan menurut kedua pendapat tersebut sholat qodlo yang dilakukan tidak sah, sesuai dengan kaidah fiqih :
اَلْعِبَادَةُ حَيْثُ لَمْ تُطْلَبْ لَمْ تَنْعَقِدْ
Artinya: ”Ibadah yang tidak dianjurkan tidak sah dilakukan.”

2.   Sujud syukur dan tilawah
Pada dasarnya kedua sujud ini hukumnya sunnah dilakukan bila ada sebab-sebab yang menuntut sujud tersebut. Namun, karena syarat sah kedua sujud ini sama dengan syarat sah sholat, maka bagi wanita yang mengalami haidl tidak sah dan haram melakukannya.[24]

3.   Puasa, wajib maupun sunnah
Rasulullah bersabda:
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتِ الْمَرْأَةُ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ
Artinya:Bukankah perempuan apabila sedang haidl tidak boleh sholat dan puasa?” (H.R. Bukhari-Muslim).
Berbeda dengan sholat, puasa yang ditinggalkan itu wajib di qodlo’i mengingat puasa hanya sekali (satu bulan) dalam setahun, sehingga dianggap tidak timbul masyaqqah.

4.   Thawaf (wajib maupun sunnah)
Semua ibadah haji boleh dilakukan oleh wanita haidl kecuali thawaf dan sholat sunnah thawaf, sesuai dengan hadits yang diketengahkan ‘Aisyah ra:
عن عائشة رضي الله عنها قالت : لَمَّا جِئْنَا سَرِفَ حِضْتَ فَقَالَ النَّبِيُّ صلعم اِفْعَلِيْ مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوْفِيْ بِالْبَيْتِ حَتّىَ تَطْهُرِيْ.
Artinya: Dari A’isyah Ra. dia berkata ”ketika kami sampai di sarif, saya mengalami haidl”, maka Nabi saw bersabda: “Lakukanlah semua hal yang harus dilakukan oleh orang yang haji tetapi engkau tidak boleh thawaf di BaituLlah sehingga engkau suci (dari haidl).” (H.R. Bukhari-Muslim).

5.   Membaca al Quran
RasuluLlah r bersabda:
َلا يَقْرَأِ الْجُنُبُ وَلَا الْحَاِئضُ شَيْأً مِنَ الْقُرْآنِ
Artinya: “Tidak diperbolehkan bagi orang yang junub dan wanita yang sedang haidl membaca sesuatu (ayat) dari al Qur-an.” (H.R. al-Turmudzi).

Keharaman ini, bila dalam melafazkan al Qur-an diniati membaca al Qur-an, namun bila hanya diniati zikir atau doa ataupun dimutlakkan (tidak ada niat apapun), ataupun hanya dibaca dalam hati, maka hukumnya diperbolehkan.[25] Misalnya membaca basmalah ketika akan minum sebagai doa untuk mendapat barokah.

6.   Menyentuh dan membawa mushaf (al Quran).
Yang dimaksud mushaf adalah setiap sesuatu yang ditulisi lafaz al Qur-an, dengan tujuan dirosah (dibaca) meskipun kurang dari satu ayat.
Allah I berfirman:
إِنَّهُ لَقُرْءَانٌ كَرِيمٌ، فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ، لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ، تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Artinya: “Sesungguhnya al Qur-an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (lauh al-mahfuzh), tidak (boleh) menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan, diturunkan dari Tuhan semesta alam.” (QS. Al Wâqi’ah; 77-80)
Ayat ini, oleh sebagian ulama dijadikan sebagai salah satu dasar tidak diperbolehkannya menyentuh al Qur-an bagi orang yang hadats.

7.   Lewat ataupun berdiam diri dalam masjid.
Nabi r bersabda:
إِنِّيْ َلاأُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلاَ جُنُبٍ
Artinya: “Saya tidak menghalalkan masjid bagi orang yang sedang haidl dan tidak pula bagi orang yang junub.” (HR. Abu Daud)
Hal ini dihukumi haram apabila khawatir akan ada darah yang menetas di masjid. Apabila yakin tidak akan ada darah yang menetes, maka hukumnya makruh.  

8.   Dicerai.
Hal ini diharamkan, sebab bila sang istri dicerai saat haidl, maka akan menajdi penyebab bertambah lamanya masa ‘iddah (penantian untuk memastikan kosongnya rahim). Yang mendapatkan dosa keharaman ini hanyalah seorang suami bukan istri.

9.   Bersetubuh atau bersentuhan kulit pada anggota tubuh antara lutut dan pusar.
Keharaman ini merujuk pada firman Allah I dalam surat al-Baqarah ayat 222,
فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ.
Artinya: ”Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidl, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci.(QS. Al Baqoroh; 222)
Dan hadits Nabi r yang diriwayatkan Abu Dawud:
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ  : مَا يَحِلُّ لِلّرَجُلِ مِنِ امْرَأَتِهِ وَهِيَ حَائِضٌ؟ فَقَالَ : مَا فَوْقَ اَلِإزَارِ
Artinya: diceritakan dari sahabat Mu’adz bin Jabal, bahwa ia bertanya kepada Nabi saw ”apa yang halal dilakukan seorang suami pada istrinya di saat haidl?” RasuluLlah menjawab: ”persentuhan kulit pada selain anggota antara lutut dan pusar”. (HR. Abu Daud)

Bagi seseorang yang sudah terlanjur menyetubuhi wanita disaat haidl disunahkan untuk bersedkdah sebanyak satu dirham (3,88 gram emas) apabila persetubuhan dilakukan saat-saat awal darah haidl keluar. Apabila persetubuhan dilakukan saat-saat akhir darah haidl keluar, maka sunah bersedekah setengah dinar (2,94 gram emas).[26]

NIFAS


1.       Pengertian Nifas
Yang dinamakan nifas adalah darah yang dikeluarkan wanita setelah lahirnya seluruh tubuh bayi. Sedangkan darah yang dikeluarkan pada waktu saat terasa akan melahirkan dan darah yang dikeluarkan bersamaan dengan bayi itu hukumnya tafshil (diperinci), sebagaimana berikut :
a.    Jika bersambung dengan haidh sebelumnya serta mencapai masa minimalnya suci antara haidl dan nifas yaitu 24 jam, maka dihukumi darah haidh.
b.    Dan jika tidak bersambung, maka dihukumi darah istihadhoh.
Contoh yang bersambung dengan haidh sebelumnya: Ada seorang wanita hamil (sebelum terasa akan melahirkan) mengeluarkan darah selama 3 hari, kemudian melahirkan dan darah terus keluar sampai 20 hari setelah melahirkan.
Contoh yang tidak bersambung dengan haidh sebelumnya : seorang wanita hamil mengeluar-kan darah selama 5 hari, kemudian darah ber-henti selama  1 hari, lalu ia melahirkan dan keluar darah selama 20 hari, maka darah yang keluar selama 5 hari pertama disebut darah haidh dan darah yang keluar saat melahirkan dan keluar bersamaan dengan bayi disebut darah istihadhoh. Untuk darah yang keluar setelah melahirkan selama 20 hari disebut darah nifas, sedangkan 1 hari masa tidak keluar darah dihukumi suci yang memisah diantara haidh dan nifas. Wallohu a’lam.

2.       Lama Waktu Nifas
Minimal nifas adalah 1 tetes (sebentar), walaupun basahnya darah tidak sampai mengalir. Umumnya nifas adalah 40 hari. Sedangkan batas maksimal nifas adalah 60 hari 60 malam dihitung mulai dari lahirnya bayi.
Contoh :
Seorang wanita melahirkan pada tanggal 1, mulai keluar darah tanggal 11, maka perhitungan genapnya 60 hari terhitung mulai dari tanggal 1 (tidak dari tanggal 11). Sedangkan yang dihukumi nifas (yang diharam-kan sholat dan lain sebagainya) mulai tanggal 11. Dan masa antara melahirkan dan keluar darah dihukumi suci, sehingga dia tetap diwajibkan sholat, halal (boleh) disetubuhi dan lain sebagainya.

Peringatan!
a.      Tenggang waktu antara kelahiran bayi dengan keluarnya darah nifas adalah maksimal 15 hari. Dan jika keluarnya darah setelah jarak 15 hari dari kelahiran, maka disebut haidh (bukan nifas).
b.     Jika seorang ibu melahirkan 2 bayi kembar atau lebih, maka yang dihukumi darah nifas adalah darah yang keluar setelah lahirnya bayi terakhir.
c.      Jika seorang wanita melahirkan kemudian mengeluarkan darah terputus-putus, maka hukumnya diperinci sebagai berikut :
§  Jika darah yang keluar belum melebihi masa 60 hari dari kelahiran bayi dan masa terputusnya darah tidak mencapai 15 hari, maka keseluruhannya dihukumi darah nifas. Tetapi setiap kali terputus, dia diwajibkan mandi dan lain sebagainya sebagaimana orang suci.
Contoh :
Setelah melahirkan keluar darah selama 5 hari, kemudian putus selama 14 hari, keluar lagi selama 10 hari, putus lagi selama 13 hari, keluar lagi selama 8 har. Maka keseluruh-an darah yang keluar beserta masa putus-putusnya (50 hari) semuanya dihukumi nifas. Dan pada waktu putus darah yang pertama dan yang kedua diwajibkan mandi dan lain sebagainya.

§  Jika darah yang pertama masih dalam masa 60 hari 60 malam dari lahirnya bayi dan darah yang kedua diluar masa 60 hari 60 malam setelah keluarnya bayi, maka darah awal disebut darah nifas dan darah kedua disebut darah haidh (bila memenuhi ketentuannya). Sedangkan masa-masa terputusnya darah dihukumi suci yang memisah diantara nifas dan haidh.
 Contoh :
Seorang ibu yang melahirkan mengeluarkan darah selama 59 hari kemudian putus selama 20 hari, keluar lagi selama 5 hari, maka darah yang keluar selama 59 hari dihukumi darah nifas dan yang keluar selama 5 hari  dihukumi darah haidh. Sedangkan masa terputusnya darah selama 2 hari dihukumi suci.

§  Jika keseluruhan darah yang keluar masih dalam masa 60 hari 60 malam dari lahirnya bayi, akan tetapi masa berhentinya darah telah sampai 15 hari atau lebih, maka darah sebelum masa berhenti dihukumi darah nifas dan darah yang keluar setelah berhenti dihukumi darah haidh (bila memenuhi ketentuan haidh). Dan bila tidak memenuhi ketentuan haidh, maka dihukumi      darah istihadhoh.
Contoh :
Setelah melahirkan keluar darah selama 10 hari, kemudian putus selama 16 hari, keluar lagi selama 5 hari, maka darah yang keluar selama 10 hari dihukumi darah nifas, yang keluar selama 5 hari dihukumi    darah haidh, dan masa selama 16 hari dihukumi suci.





[1] al Hawi al Kabir I/456
[2] Ta’lim Muta’allim 4 & I’anatuth Thalibin IV/181
[3] Al Bajuri I/113
[4] As Syarqowiy I/147
[5] Al Fiqh al Islami I/456-457
[6] Mughnil muhtaj I/113
[7] Al muhadzdzab I/39
[8] Al Bajuri I/112
[9] Bugyah al Mustarsyidin 31
[10] Tuhfah al Muhtaj I/656, Bughyah al Mustarsyidin 31
[11] Al Majmu’ II/521
[12] Bugyah al Mustarsyidin 31
[13] Bugyah al Mustarsyidin 31
[14] Referensi  : I’anah al-Thilibin Juz  I hal : 71 - 72
[15] Referensi
1.        I’anah al-tholibin Juz I hal : 86
2.       Hasyiyah al-qulyubi ‘ala al-mahali Juz I hal : 71
[16] Raferensi :
a)       al-mahali juz I hal : 101 – 102
b)       Tuhfah al-Muhtaj Juz I hal : 645 - 646
[17] al Muhadzdzab I/39
[18] al Fiqh al Islami I/458
[19] al Mughni al Muhtaj I/113
[20] an Nihayah Zain 31
[21] al Muhadzdzab I/38
[22] Hamisyi I’anah at Thalibin I/79
[23] al Mahalliy I/100
[24] I’anah at Thalibin I/209-210
[25] Hasyiyah al Bujairimi ‘alaa Khatib I/356-358
[26] Fiqhul islami I/475 & Fathul qodir 19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar